Minggu, 28 April 2013

ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM


Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Selasa, 2008 Januari 08
Aliran-aliran Pemikiran dalam Islam
http://msibki3.blogspot.com/ - diakses 29-08-2008
Introduction
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata
dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai
mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan
sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari
agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan
tidak mudah digoyahkan.
Munculnya perbedaan antara umat Islam
Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di
bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu,
meningkat menjadi persoalan teologi.
Pada masa nabi Muhammad berada di Madinah dengan status sebagai kepala agama
sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam bersatu di bawah satu kekuasaan politik.
Setelah beliau wafat maka muncullah perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah
kepemimpinan. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi
Muhammad diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman
pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin Affan,
khalifah ketiga.
Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang
pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi
khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga
memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak
diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah
starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompokkelompok
aliran pemikiran.
Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang
Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik
dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan
Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada
hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui
arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase
sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.
Aliran-aliran teologi Islam
Persoalan “dosa besar” ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran pemikiran
karena ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang bisa menjadi
kafir karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran Khawarij
mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh. Paham Khawarij ini
memicu munculnya paham yang berseberangan yang mengatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosanya terpulang kepada
Allah untuk mengampuninya atau tidak. Paham ini dilontarkan oleh aliran Murji’ah.
Sementara aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak
menjadi kafir tapi juga tidak bisa disebut mukmin. Mereka berada pada posisi antara 
1
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
keduanya yang dikenal dengan istilah al-manzilah baina al-manzilatain. 
Dalam hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada dua
aliran yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka dalam
berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act. Menurut
Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala gerak-gerik
manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme. Dalam masalah ini
aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mu’tazilah yang juga mengatakan
bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu sehingga manusia diminta
pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul Hasan al-Asy’ari (935 M)
seorang pengikut Mu’tazilah yang keluar dari Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru
yang disebut dengan Asy’ariah memilih posisi lebih dekat ke Jabariah.Menurutnya
seluruh perbuatan manusia adalah atas kehendak Allah hanya saja manusia, menurutnya,
bisa berikhtiar. Selain Asy’ariah, Tahwiah dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran
Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi
disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. 
Diposting oleh yaser amri di 02:15
0 komentar http://www.blogger.com/
)0(
Senin, 2007 Oktober 22
Study of religion and YOU
The freedom of intellectual exploration is one of the joys of being in college, but most
college students also have practical concerns about how studying religion will help in
"the real world."
The study of religion leads in many directions, qualifying undergraduates for further
study in graduate school and giving them a leg up in certain areas of the job market.
Most religion departments offer students training in a unique combination of skills,
including direct observation, critical thinking, and cross-cultural understanding. In many
professional fields, such skills are in high demand. In addition, many religion majors or
minors go on to study law, business, education, and medicine in graduate school. Some
students choose to make religion the center of a professional career, either as the leader
of a religious community, or as an academic specialist in higher education. In short, the
study of religion offers a wide array of opportunities and a firm foundation for a
successful and fulfilling career. 
Diposting oleh yaser amri di 04:08
0 komentar http://www.blogger.com/
)0(
Rabu, 2007 Oktober 17
PENELITIAN AGAMA
Introduction
Agama dan kehidupan beragama merupakan fenomena yang tak terlepaskan dari
kehidupan dan perjalanan sejarah kehidupan manusia. Setidaknya ada lebih dari 5 agama
besar berbeda yang yang mempunyai penganut di seluruh dunia. Agama-agama ini
tumbuh dan berkembang sebagaimana yang disampaikan oleh penganutnya secara turun
temurun. Walaupun secara garis besar agama-agama ini mempunyai aspek-aspek yang
sama i. e. Sistem keimanan, ritual, norma, namun sifat dan detailnya tentu berbeda. Ada
yang inklusif pluralis ada pula yang eksklusif, ada yang missionary ada pula yang non-
2
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
missionary. Penelitian agama perlu dilakukan untuk mengetahui fenomena agama dalam
kehidupan dan mengetahui perbedaan antar agama agar bisa menentukan sikap yang
seharusnya diambil oleh penganut agama masing-masing.
Pengertian penelitian
Penelitian berasal dari kata teliti, dalam Kamus Bahasa Indonesia, W.J.S.
Poerwadarminta berarti cermat atau seksama. Penelitian sama artinya dengan
penyelidikan atau pemeriksaan yang dilakukan secara teliti. Dalam ilmu pengetahuan
penelitian bisa kita artikan sebagai upaya menemukan jawaban yang bisa
dipertanggungjawabkan atas sejumlah masalah berdasarkan data-data yang terkumpul
melalui prosedur-prosedur ilmiah; sistematis, terkontrol, bersifat empiris dan kritis.
Pengertian agama
Definisi agama yang diberikan oleh para ilmuwan berbeda-beda. Ini mungkin karena
adanya pengaruh dari agama yang dianut oleh para ilmuwan tersebut. Setidaknya kita
akan kemukakan beberapa definisi agama menurut ilmuwan-ilmuwan berikut:
· Kepercayaan terhadap kekuatan gaib. (E.B. Taylor)
· Perasaan dan pengamalan seseorang yang menganggap bahwa mereka behubungan
dengan apa yang dipandangnya sebagai tuhan. (James)
· Suatu ketundukan kepada kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia yang dipercaya
mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia. (J.G. Frazer)
· Ikatan yang harus dipatuhi manusia yang berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari
manusia. (Harun Nasution)
· Suatu peraturan tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang berakal untuk memegang
peraturan tuhan itu atas pilihannya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup dan
kebahagiaan kelak di akhirat. (Taib Tahir abdul mu’in)
Penelitian agama
Dari definisi-definisi di atas dapat kita ambil beberapa aspek pokok yang terkandung
dalam agama. Pertama, sistem credo (keimanan) terhadapap kekuatan gaib di luar
kemampuan manusia, kedua, sistem ritus (peribadatan) terhadap apa yang dianggapnya
tuhan, ketiga, sistem norma (aturan) yang mengatur hubungan antar manusia dan alam.
Melihat dari asal usulnya, menurut klasifikasi Hegel, filosof Jerman, agama dapt kita
bagi 3, yaitu:
1. Agama individual, yaitu agama yang timbul karena dorongan hati manusia yang
dihasilkan oleh pemikiran seseorang sebagai realisasi dorongan hati nurani.
2. Agama alamiah, yaitu agama yang timbul dari perasaan takut terhadap kekuasaan
alam yang kadang-kadang membahayakan keselamatan manusia.
3. Agama absolut, yaitu agama yang mempunyai doktrin ajaran yang tidak dapat
diganggu/diubah oleh manusia karena dia turun dari tuhan dalam bentuk wahyu.
Kelompok 1 & 2 disebut juga sebagai agama ardhi atau non-revealed (non-wahyu)
sedang kelompok 3 disebut sebagai agama samawi atau revealed (wahyu). Penelitian
agama dapat dilakukan secara penuh pada agama non-wahyu, baik ajaran, doktrin dan
pengamalannya karena dia merupakan produk budaya. Sedangkan pada agama wahyu
penelitian dapat dilakukan pada sisi pengamalan agama atau prakteknya saja, sementara
doktrin dan ajarannya tidak dapat ”diteliti” karena sudah merupakan hukum Tuhan yang
mutlak benar.
Penelitian bisa dilakukan dari berbagai sudut pandang karenanya dia bisa mempunyai
bermacam bentuk. Berikut ini adalah beberapa bentuk penelitian:
· Dilihat dari segi hasil yang ingin dicapai, penelitian dapat dibagi menjadi:
1. Exploratory atau descriptive (menjelajah) = Pengetahuan mengenai persoalan masih
kurang atau belum ada sama sekali.
2. Explanatory (menjelaskan) = Sudah ada teori yang menjadi dasar hipotesa
(kesimpulan sementara)
3
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
· Dilihat dari bahan atau obyeknya
1. Library research (kepustakaan) = menggunakan bahan tertulis i.e. manuskrip, buku,
majalah dll.
2. Field research (riset lapangan) = informasi diperoleh dari sasaran penelitian i.e.
wawancara, angket, observasi dll.
· Dilihat dari cara menganalisa
1. Qualitative = dilakukan pada objek penelitian yang bersifat sosiologis
2. Quantitative = dilakukan pada objek yang bersifat fisik dan dapat dihitung jumlahnya.
· Dilihat dari metode dasar dan rancangan penelitian
1. Historis = Membuat rekonstruksi masa lampau
2. Penelitian kasus dan lapangan = Mempelajari secara intensif latar belakang keadaan
sekarang.
3. Correlational research = mendeteksi sejauh mana satu faktor berkaitan dengan satu
atau lebih faktor lain.
4. Causal comperative = Menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat denagn cara
pengamatan pada akibat yang ada kemudian mencari kembali faktor yang mungkin jadi
penyebab melalui data tertentu.
5. Experimental sungguhan = menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan
cara mengenakan pada satu atau lebih kelompok eksperimental kemudian dibandingkan
dengan kelompok yang tidak dikenai perlakuan.
6. Penelitian tindakan = mengembangkan keterampilan baru untuk memecahkan
masalah dengan penerapan langsung di dunia aktual.
7. Survei =Pengumpulan informasi dari beberapa sampel yang mewakili secara
keseluruhan.
8. Grounded research = Pendekatan kualitatif bertolak dari data yang dikumpulkan
dengan menggunakan wawancara bebas.
Langkah penyusunan draft penelitian agama
Dalam penyusunan draft penelitian agama yang lazim digunakan adalah :
1. Unsur latar belakang masalah, 2. Studi kepustakaan, 3. Landasan teori, 4. Metodologi,
5. Kerangka analisa
Macam-macam pendekatan
· Regional (kawasan) = Menurut wilayah di mana masalah itu terjadi.
· Comparative (perbandingan) = membandingkan berbagai pendapat atau objek
penelitian sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaannya.
· Topical (topik) = Mengkaji masalah dengan cara mengelompokkannya dalam topiktopik
tertentu. 
Diposting oleh yaser amri di 01:51
0 komentar http://www.blogger.com/
)0(
4
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
9 April, 2008
Studi Agama-Agama
http://grelovejogja.wordpress.com/ - diakses 29-08-2008
Diarsipkan di bawah: Islamic Though
— greata @ 6:52 pm 
Tantangan terbesar yang diakibatkan oleh kaum orientalis diantaranya juga dalam
bidang studi agama-agama, dengan mengembangkan epistemology relativisme dalam
memandang kebenaran agama-agama. Selama ratusan tahun, para ulama Islam telah
mengembangkan studi perbandingan agama, yang berangkat dari keimanan Islam,
bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar dan yang diterima Allah SWT (QS.
3:19, 85). Metodologi studi semacam itu kini digugat, dipandang subjektif, menerapkan
standar ganda, dan tidak objektif. Sarjana Muslim kini banyak yang mengambil
metodologi para orientalis dalam studi agama-agama dengan menempatkan Islam
sebagai objek kajian dan penelitian yang sejajar dengan semua agama yang ada.
Prof. Jacques Waardenburg menyatakan: “Saya ingin menunjuk dua problem mendasar
bagi perkembangan studi agama-agama di dunia Islam. Problem pertama adalah
adagium bahwa Islam adalah agama final dan benar.” Prof. Wilfred Cantwell Smith,
pendiri Islamic Studies di Mc Gill University menyatakan : “Pernyataan tentang suatu
agama tidaklah valid kecuali benar-benar diakui oleh pemeluk agama tersebut.” (Dikutip
dari artikel Dr. Anis Malik Thoha, “Religionswisenschaft, antara Objektivitas dan
Subjektivitas Praktisinya”, Majalah Islamia edisi 8/2006).
Perubahan metodologi studi agama-agama di perguruan tinggi dengan memasukan
metode orientalis sudah dilakukan sejak 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen
Agama RI memutuskan: buku “ Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya
Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah
Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap
mahasiswa IAIN. Tokoh utama dalam hal ini adalah Prof. Dr. Harun Nasution. Karena
ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi penaung dan penanggung jawab
IAIN – IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah
dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.
Pada tanggal 3 Desember 1975, mantan Guru Besar di McGill University Prof. HM.
Rasjidi, yang juga Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada
Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi
terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’, Prof.
Rasjidi menceritakan isi suratnya:
“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang
berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasaldemi
fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat
berbahaya,
dan saya
mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan
terhadap
buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi
dijadikan
sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” (HM. Rasjidi, Koreksi
terhadap
Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’,
Jakarta:

Bulan
Bintang, 1977. Hal 1).
Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya
mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada
umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap
buku Harun. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution
tersebut.
5
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting direnungkan saat ini, mengingat buku IDBA karya
Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah
maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang hadist Nabi Muhammad saw, Harun
menulis: “Berlain halnya dengan Al Qur’an, hadist tidak dikenal dicatat tidak dihafal di
zaman Nabi… Karena hadist tidak dihafal dan tidak dicatat sejak semula, tidaklah dapat
diketahui dengan pasti mana hadist yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadist
yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinalan
semua hadist dari Nabi.” (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: UI Press, 1986, Jilid 1, hal 29)
Sekilas saja mencermati kata-kata tersebut, jelas sangat keliru, sebab banyak sahabat
yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadist Nabi saw. Juga, tidak benar,
bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadist Nabi. Kata-kata
Harun itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadist Nabi sebagai pedoman kaum
Muslim setelah Al Qur’an. Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge,
berjudul “Studies in Early Hadith Literature” membuktikan proses pencatatan hadist
sejak zaman Nabi, disamping proses hafalannya.
Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan
tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya
sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi).
Padahal, Islam satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain,
yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion).
Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama
tauhid’ – ada empat, yaitu Islam, Yahudi, ,Kristen dan Hindu. Ketiga agama pertama,
kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini.
tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan
Yahudi. Kemurniaan tauhid agama Kristen dengan adanya paham Trinitas, sudah tidak
terpelihara lagi (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI
Press, 1986, Jilid 1, hal 15-22).
Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana
Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi Ahlul Kitab?
Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah
memberikan kritik keras, bahwa: :Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian
ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi Islam yang ingin dipudarkan
keimanannya.” (HM Rasjidi, op.cit, hal 24).
Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan
IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam mata kuliah
pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal,
kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan
yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional (Lihat, Abdul Halim (ed),
Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005, hal xvi-xvii).
Kini, metode kajian agama yang berbasis pada epistemology relativisme kebenaran
dikembangkan di berbagai kampus Islam. Sadar atau tidak. Sebagai contoh sebuah buku
berjudul “Ilmu Studi Agama” untuk mahasiswa Fakultas Ushuluddin di UIN Bandung,
ditulis:
“Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakinan tentang
yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber.” (hal.
17)…”Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan,
sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh penggunaan
standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi
agama lain, dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui
standar ganda inilah, terjadi perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas
agama lain.” (hal. 24)… Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau
sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya.
Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama
terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi 
6
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
relative, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relative. (hal. 20) (Adeng
Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2005).
Dampak penggunaan epistemology relativisme dalam pendekatan studi agama – dengan
menghilangkan aspek keyakinan pada kebenaran agama sendiri – sangatlah besar dalam
cara pikir dan cara pandang terhadap kebenaran. Epistemology relative ini telah cukup
luas menyebar, sehingga banyak yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama,
semuanya jalan menuju kebenaran, dan jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang
sama. Padahal, sebagaimana telah dikutip pernyataan pernyair terkenal Pakistan, Moh.
Iqbal, bahwa jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan
(Lack of conviction is worse than slavery).
Tantangan yang serius dari metode studi agama gaya orientalis, misalnya ditandai
dengan program studi agama-agama untuk tingkat doctor (Ph.D) di Yogyakarta (InterReligious
International Ph.D Program), yang
merupakan hasil kerjasama UGM, UIN
Sunan
Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Ketiga kampus itu
bekerjasama
membentuk satu konsorsium yang diberi nama “Indonesian Concortium for
Religious
Studies” (ICRS – Yogya).
Program yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bernard Adeney – Risakotta ini selain bertujuan
untuk mempelajari lebih mendalam tentang keberagamaan agama di Indonesia, jug
bertujuan untuk memberi pencerahan bagi masyarakat Indonesia agar tidak terjebak
dalam fanatisme sempit (Kompas, 7 Oktober 2006). Menurut Prof. Bernard, ICRS
Yogya merupakan konsorsium pertama yang mengabungkan universitas-universitas
dengan semangat saling percaya untuk belajar satu sama lain tentan keberagaman agama
di Indonesia. “Program doctor ini akan mengkaji semua agama-agama di Indonesia
melalui dialog dan pendekatan ilmu sosial sekuler, studi agama perspektif Islam, dan
tradisi ilmu teologi Kristen. Agama-agama lain juga diteliti melalui pendekatan masingmasing
yang diperkaya
dengan
dialog lintas agama, ujarnya.
Program doctoral studi lintas agama ICRS ini menawarkan tiga areas kajian, yaitu: (1)
Cultural and Historical Studies of Religion (2) Religion, Social Theory and
Contemporary Issues, dan (3) Comparative Interpretation of Sacred Texts. Disebutkan
dalam brosur program ini, dalam kajian agama-agama versi ICRS Yogya, misalnya
mahasiswa akan diajak untuk mendengarkan paparan tentang berbagai sejarah agama di
Indonesia ditinjau dari berbagai perspektif dan diajar oleh para dosen dari berbagai
disiplin dan berbagai agama. Sebagai contoh, para mahasiswa akan mendengarkan
sejarah agama-agama di Indonesia dari agama Budha, Hindu, Islam, Kristen, juga dari
kaum yang aspirasinya terabaikan (forgotten voices) seperti “indigenous Indonesian
religions (agama suku)” dan kelompok-kelomok terlarang (forbidden groups). Diantara
dosen tamu yang dicadangkan member kuliah adalah Prof. Dr. Nasr H. Abu Zaid
(Utrecht, ISIM), Prof. Dr. Abdullah A. An Na’im, dan Dr. Khaled M Abou El Fadl
(UCLA).
Oleh: Adian Husaini, M.A. (Kandidat Doctor ISTACS IIUM Malaysia, Dosen Pasca
Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia)
2 Tanggapan »
1.
Dear Anggun,
Dapat artikel Mr.Adian ini dari mana? Bagus untuk perbandingan, tapi secara
ilmiah sangat subjektif, sehingga diragukan. Kenapa? Karena ia menggugat
upaya objektivitas ilmiah yang justru sedang giat-giatnya dibangun dalam kajian
agama (religious studies).
7
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Pernah jumpa atau berinteraksi langsung dengan Adian Husaini? saya sendiri
belum pernah. Namun kabarnya, beliau ini adalah seorang yang “semi
fundamentalis”, yang walaupun menurut pandangan saya tidak termasuk yang
“garis keras” (kemana-mana bawa massa sambil teriak yel-yel nama tuhan),
namun ia terkenal suka melontarkan pandangan-pandangan miring terhadap
upaya-upaya kajian agama secara objektif dan terbuka. Menggerogoti keyakinan,
katanya. Bukankah demikian?
Sekadar info: Saya adalah alumni fakultas filsafat UGM dan ICAS-Paramadina
Jakarta. Saya disarankan oleh Pak Iwan Nusyirwan (dosen fakultas filsafat UGM
- kebetulan saya saat ini dekat dengan beliau) untuk melanjutkan studi di ICRS,
bahkan beliau merekomendasikan. O,ya kapan latihan randai lagi? Saya sudah
ikut lihat latihannya dan merekamnya (he.he..) Hasilnya bisa dilihat di komputer
fakultas.
Terimakasih, salam untuk teman-teman semua.
Benny Baskara (2004)
Komentar oleh Benbask — 15 April, 2008 @ 11:46 pm
2.
artikel ini, saya tulis lagi dari makalah pak adian husaini, ketika
beliau sempat memberikan ceramah beberapa bulan yang lalu di jogjakarta.
diskusi ini diadakan oleh Jama’ah Shalahuddin UGM, di auditorium
Pertanian UGM. saat itu saya datang sebagai peserta diskusi.
saya tidak bisa mengatakan seserang fundamentalis atau semi
fundamentalis. karena istilah ini sangat rentan dengan nuansa politis, jadi saya
no comment dengan cap ini. saya pikir orang filsafat tidak melihat orang
dari label dan kilasan beberapa hal saja, namun perlu ada studi
menyeluruh untuk mengatakan seseorang ini dan itu. apalagi dalam tradisi
filsafat perbedaan bukanlah jadi masalah. 
okey, salam kenal mas…
latihan randai, beberapa bulan ini vakum. saya g tahu kapan mau
dimulai..
terima kasih atas kunjungan mas benny di blog saya. ditunggu comment2
selanjutnya..
Komentar oleh admin — 16 April, 2008 @ 9:41 am
3 April, 2008
- HAR -
Perbedaan Ibnu Taimiyah dan Wahabi*
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 8:16 am 
Pengaruh Ibnu Taimiyah (pada mulanya memang) hanya terbatas pada murid-murid
yang terdekat dan tidak meluas menjadi suatu gerakan. Akan tetapi, dalam jangka
panjang, ia meresap ke dalam tubuh intelegensia keagamaan dan pada abad ke-12 H/18 
8
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
M. Gerakan Wahabilah yang merupakan satu-satunya manifestasi, atau manifestasi yang
paling terorganisir, dari pemikiran-pemikirannya.
Pada mulanya memang “Gerakan Wahabilah yang menyebarkan ajaran Ibnu Taimiyah
ke seluruh dunia Islam,” tetapi kemudian “pada abad ke-19, … gerakan Sanusi di Libia
dan Cad (serta) … ‘Padri’ di Sumatera Barat semuanya mencerminkan program Ibnu
Taimiyah yang diterima lewat para Wahhabiyyun.”
Itu harus ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah identik dengan kaum Wahabi, sebab seperti
dinyatakan M. Amin Rais, “walaupun dipengaruhi oleh pikiran-pikiran reformatif Ibnu
Taimiyah, namun gerakan Wahabi tidak sepenuhnya merupakan duplikat pikiran-pikiran
Ibnu Taimiyah.” Paling sedikit terdapat dua macam perbedaan antara sikap Ibnu
Taimiyah dengan ciri khas gerakan Wahabi.
Pertama, jika Taimiyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak bersifat frontal
berhubung ada segi-segi sufisme yang diakomodasi oleh Ibnu Taimiyah. Sebaliknya,
gerakan Wahabiah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus kita akui bahwa
berkat jasa kamu Wahabilah pembabatan bid’ah, khurafat, dann takhayul yang
merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Perbedaan kedua
adalah anti rasionalisme Wahabiah yang terlampau berlebihan. Ibnu Taimiyah juga
melakukan kritik tajam terhadap rasionalisme, akan tetapi kritiknya itu tidak berakibat
memojokkan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan dalam berbagai dimensi
kehidupan kaum muslimin.
Selain yang telah disebutkan, sesungguhnya masih ada beberapa perbedaan antara
Wahabi dengan Ibnu Taimiyah. Tindakan-tindakan kekerasan, terutama melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, seperti pernah dilakukan gerakan
Wahabi terhadap pemerintahan Turki Usmani sekitar tahun 1813-1815, merupakan
tindakan yang bertolakbelakang dengan dasar-dasar pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak
membenarkan melakukan tindakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah
betapun lalim dan rusaknya pemerintahan yang sah tersebut. Namun, bahwa gerakan
Wahabi memiliki peranan amat penting bagi tumbuh subur dan berkembangnya gerakan
tajdid dan ijtihad Ibnu Taimiyah ke berbagai dunia Islam, termasuk di dalamnya
sebagian umat Islam Indonesia, agaknya memang telah diakui oleh para ahli sejaraj
pergerakan Islam.
*Dikutip dari Buku “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fikih Islam”, karangan
Muhammad Amin, Penerbit INIS, Jakarta, Tahun 1991.
1 Tanggapan »
1.
SAYA KIRA GERAKAN WAHABBI MEMANG GERAKAN PEMURNIAN 
YANG BUTA DAN JUSTRU MENEBARKAN KETAKUTAN, SEMOGA
TEMEN TEMEN WAHABI MANIA SEGERA KEMBALI KE PEMIKIRAN
ISLAM YANG LEBIH MODERAT DAN TOLERAN
Komentar oleh lutfi — 13 Agustus, 2008 @ 9:19 pm
- HAR -
9
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
3 April, 2008
Kekaguman Rasyid Ridha kepada Ibnu Taimiyah   
dan Ibnu Qoyyim*
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 7:54 am 
Rasyid Ridha merupakan tokoh muslim yang terpengaruh oleh gerakan tajdid Ibnu
Taimiyah. Seperti halnya ‘Abduh dan pembaharu-pembaharu yang lain, Rihda juga
boleh dikatakan anti bid’ah dan khurafat selain tidak membenarkan sikap taklid dan
takut ijtihad pada sebagian ulama yang ada pada masanya. Sikap Ridha yang demikian
agaknya sama persis atau minimal mirip dengan pendirian Ibnu Taimiyah.
Bahwa Ridha terpengaruh oleh tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah, ternyata mudah dipahami
dan dapat diterima mengingat “Ia, yang sesungguhnya pengikut Ibnu Hanbal, menjadi
pembaca dan penerbit antusias karya-karya Ibnu Taimiyah.” Indikasi lain yang
memperkuat betapa besar pengaruh Ibnu Taimiyah dalam diri Rasyid Ridha adalah
sokongan dan pembelaannya yang gigih terhadap perjuangan Muhammad Ibnu “Abd al
Wahhab dan gerakan Wahabinya ketika gerakan yang dikenal keras ini mendapat
perlawanan dan serangan sengit dari pihak-pihak yang menentangnya. Bahkan, lebih
jauh dari itu Ridha menyatakan bahwa pemahaman agama kaum Wahabi adalah
pemahaman yang benar dari umat Islam yang sejati.
Kekaguman Rasyid Ridha terhadap Ibnu Taimiyah, bahkan juga terhadap muridnya,
Ibnu Qoyyim al Jauziyah, tersimpulkan dalam pernyataan singkatnya:“Tidak kami
ketahui (jumpai) dalam berbagai kitab para ulama Hadist yang pembahasannya dalam
mengkompromikan naql dan ‘aql lebih bermanfaat daripada buku-buku Syekh al Islam
Ibnu Taimiyah dan Syekh al Islam Ibnu al Qoyyim; dan aku sendiri berkomentar tentang
diriku: sesungguhnya aku pada mulanya tidak merasa tenang (puas) hatiku dengan
memegangi mazhab salaf secara detail, kecuali setelah berulang-ulang menelaah kitabkitab
Ibnu Taimiyah dan Ibnu al Qayyim.”
*Dikutip dari Buku “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fikih Islam”, karangan
Muhammad Amin, Penerbit INIS, Jakarta, Tahun 1991.
Tidak ada Komentar »
2 April, 2008
- HAR -
Perbedaan Abduh dengan Ibnu Taimiyyah*
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 6:46 am 
Muhammad ‘Abduh, kata Philip K. Hitti, mengikuti jejak Ibnu Taimiyah dalam
memerangi bid’ah dan khurafat yang olehnya dipandang mencemarkan kemurnian
akidah Islamiyah. Paham Ibnu Taimiyah bahwa ajaran-ajaran Islam terbagi dalam dua
kategori ibadah dan maumalah (hidup kemasyarakatan) juga diambil dan ditonjolkan
‘Abduh. Akan tetapi, suatu hal yang penting dicatat di sini, berbeda dengan Ibnu
Taimiyah yang membatasi peran akal dalam pemahaman keagamaannya, ‘Abduh
tampak begitu longgar dan malahan pandangannya tentang peran dan fungsi akal
terhadap wahyu disinyalir lebih liberal daripada kaum Mu’tazilah yang justru banyak
dikritik oleh Ibnu Taimiyah.
10
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Perbedaan lain yang cukup menonjol antara kedua tokoh Islam yang berbeda masa
hidupnya itu ialah tentang sikapnya yang tidak sama dalam mengamalkan Hadist.
‘Abduh dikenal sering menolak beberapa hadist walaupun menurut para ulaman Hadist
sanadnya sahih; sedangkan Ibnu Taimiyah justru dikenal sebagai tokoh yang banyak
berpegang kepada Hadist. Perbedaan kedua ini di samping karena perbedaan persepsi
mereka tentang akal dan fungsinya juga agaknya karena perbedaan penguasaan mereka
terhadap Hadist itu sendiri.
*Dikutip dari Buku “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fikih Islam”, karangan
Muhammad Amin, Penerbit INIS, Jakarta, Tahun 1991.
Tidak ada Komentar »
9 Februari, 2008
- HAR -
Tradisi Ilmu ke Peradaban Islam:                     
(Catatan untuk Lima Tahun INSISTS)
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 1:52 pm 
Hari ini, 9 Februari 2008, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization
(INSISTS) menggelar acara
tasyakkur lima tahun kiprahnya dalam dunia pemikiran
Islam di Indonesia. INSISTS adalah sebuah lembaga yang selama beberapa tahun gencar
mempromosikan gagasan dan gerakan membangun tradisi ilmu menuju peradaban Islam
melalui berbagai aktivitas
workshop dan penerbitan. 
Mengapa tradisi ilmu? Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh
bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali peradaban Islam. 
Rasulullah SAWA telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah
masyarakat jahiliyah gurun pasir, Rasulullah mewujudkan sebuah masyarakat yang
sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi dikenal sebagai orang-orang yang gila
ilmu.
Tradisi ilmu yang didorong oleh ayat-ayat Alquran berhasil mengubah sahabat Nabi dari
orang-orang jahiliyah menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan
berakhlak mulia, mengubah generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam
pergolakan dunia menjadi pemimpin kelas dunia. 
Tradisi baca dan tulis begitu hidup dalam masyarakat yang sebelumnya didominasi
tradisi lisan. Tiap ayat Alquran turun, Rasulullah memerintahkan kepada sahabatnya
untuk menulis. Bahkan, tradisi ini menjadi simbol kemuliaan seseorang. 
Rasulullah menjadikan pelajaran baca tulis sebagai tebusan tawanan Badar. Rasulullah
menugaskan Abdullah bin Said bin al Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah.
Beliau juga memberi mandat Ubadah bin as-Shamit mengajarkan tulis-menulis ketika
itu. 
Kata Ubadah, ia pernah diberi hadiah panah dari salah seorang muridnya setelah
mengajarkan tulis-menulis kepada Ahli Shuffah. Saad bin Jubair berkata: ”Dalam
kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku
menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata: 
11
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
”Hafalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah.
Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.”
(Mustafa Azami, 2000).
Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi berkat pemahaman
terhadap Alquran yang mendorong agar Muslim senantiasa menggunakan akalnya. Ibnu
Taimiyah mencatat banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah
Rasulullah. 
Menurut Ibnu Taimiyyah, orang yang tinggal di dalam
suffah (asrama tempat belajar)
mencapai 400 orang. Menurut Prof Azami, Rasulullah mempunyai 65 sekretaris yang
bertugas menulis berbagai hal khusus. 
Khusus menulis Alquran adalah Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan,
dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat harta sedekah Zubair bin Awwam dan Jahm bin al
Shalit. Masalah utang dan perjanjian lain-lain Abdullah bin al Arqam dan al-Ala bin
Uqbah.
Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing adalah Zaid bin Tsabit. Zaid
memang diperintahkan Rasulullah belajar bahasa Ibrani dan Suryani. Sekretaris
cadangan dan selalu membawa stempel Nabi adalah Handhalah.
Generasi selanjutnya, peradaban Islam mencatat para ulama yang sangat tinggi
kecintaannya terhadap ilmu. Jabir ibn Abdullah ra, misalnya, menempuh perjalanan
sebulan penuh dari kota Madinah ke kota Arisy di Mesir hanya untuk mencari satu
Hadis. Ibnu al-Jauzi menulis lebih dari seribu judul. 
Imam Ahmad pernah menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk mencari satu Hadis,
bertani untuk mencari rezeki, dan masih membawa-bawa tempat tinta pada usia 70
tahun. Imam al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu shalat dua
rakaat setiap kali menulis satu Hadis, serta berdoa meminta petunjuk Allah. 
Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah
Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar delapan cabang ilmu dari
subuh sampai larut malam.
Manusia beradab
Peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid yang menyatukan unsur 
dunia dan akhirat. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia
demi tujuan mendekat kepada Tuhan. 
Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan
dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya
yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya agar bisa fokus kepada
ibadah. 
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad
justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunahku, dan siapa yang benci pada sunahku,
maka dia tidak termasuk golonganku.”
Meskipun begitu, Rasulullah juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah
mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.”
Inilah peradaban Islam, bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula
peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah tradisi ilmu dalam Islam berbeda 
12
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang membuang agama dalam kehidupan
mereka. 
Dalam Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia
masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus
menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
(
radhiyallahu ‘anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad,
dan sebagainya. 
Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima
jabatan
qadhi negara. Tradisinya berbeda dengan masyarakat Yunani yang merupakan
salah satu unsur penting peradaban Barat. 
Dalam bukunya, Budaya Ilmu (Satu Penjelasan, 2003), Prof Wan Mohd Nor Wan Daud,
guru besar pendidikan dan pemikiran Islam dari Universitas Islam Internasional
Malaysia, mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap
pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: ”Kami
mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (
courtesans) untuk keseronokan (keindahan,
Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan
zuriat halal
dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.” 
Karena itu, tradisi ilmu Islam tidak sama dengan yang dibangun dalam peradaban
sekuler. Menurut Prof Naquib al-Attas, pendiri ISTAC, konsep ilmu sekular Barat
adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia. Karena itu, saat menjadi
keynote
speaker
 pada Konferensi Pendidikan Islam di Makkah pada 1977, Al-Attas
menggulirkan makalah berjudul ‘The Dewesternization of Knowledge’. 
Langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah Islamisasi ilmu.
Menurut al-Attas, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang
disebutnya sebagai
ta’dib, bukan tarbiyah.
Tujuan utamanya membentuk manusia beradab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan
jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar sehingga menimbulkan
keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil
tertingginya ialah mengenal Allah SWT dan meletakkan-Nya di tempat-Nya yang wajar
dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. 
Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuk satu peradaban
yang dalam bahasa Melayu disebut
tamadun, yang berbasiskan pada ‘ad-din. Madinah
adalah kota di mana
‘ad-din diaplikasikan. 
Seorang dapat menjadi manusia beradab jika memiliki ilmu yang benar. Karena itulah,
suatu pendidikan Islam pasti akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun di atas
konsep ilmu yang salah, yakni ilmu yang tidak mengantarkan seseorang pada ketakwaan
dan kebahagiaan. 
Untuk itulah INSISTS berusaha turut andil dalam sebuah proses pembangunan
peradaban Islam dengan memulai menghidupkan tradisi ilmu Islam. INSISTS yakin
peradaban Islam hanya bisa berdiri tegak di atas konsep pemikiran Islam dan
diwujudkan oleh kaum Muslim sendiri. 
Ikhtisar:
- Rasulullah mengajarkan tradisi tulis-menulis.
- Peradaban Islam menyeimbangkan kehidupan dunia dan akherat.
- Hanya ilmu yang benar bisa menjamin kehidupan yang membahagiakan.
13
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Oleh : Adian Husaini dan Nuim Hidayat (Peneliti INSISTS)Sumber:
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=322684&kat_id=16
Tidak ada Komentar »
- HAR -
11 Januari, 2008
Studi Agama-Agama
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 9:04 am 
Tantangan terbesar yang diakibatkan oleh kaum orientalis diantaranya juga dalam
bidang studi agama-agama, dengan mengembangkan epistemology relativisme dalam
memandang kebenaran agama-agama. Selama ratusan tahun, para ulama Islam telah
mengembangkan studi perbandingan agama, yang berangkat dari keimanan Islam,
bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar dan yang diterima Allah SWT (QS.
3:19, 85). Metodologi studi semacam itu kini digugat, dipandang subjektif, menerapkan
standar ganda, dan tidak objektif. Sarjana Muslim kini banyak yang mengambil
metodologi para orientalis dalam studi agama-agama dengan menempatkan Islam
sebagai objek kajian dan penelitian yang sejajar dengan semua agama yang ada.
Prof. Jacques Waardenburg menyatakan: “Saya ingin menunjuk dua problem mendasar
bagi perkembangan studi agama-agama di dunia Islam. Problem pertama adalah
adagium bahwa Islam adalah agama final dan benar.” Prof. Wilfred Cantwell Smith,
pendiri Islamic Studies di Mc Gill University menyatakan : “Pernyataan tentang suatu
agama tidaklah valid kecuali benar-benar diakui oleh pemeluk agama tersebut.” (Dikutip
dari artikel Dr. Anis Malik Thoha, “Religionswisenschaft, antara Objektivitas dan
Subjektivitas Praktisinya”, Majalah Islamia edisi 8/2006).
Perubahan metodologi studi agama-agama di perguruan tinggi dengan memasukan
metode orientalis sudah dilakukan sejak 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen
Agama RI memutuskan: buku “ Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya
Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah
Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap
mahasiswa IAIN. Tokoh utama dalam hal ini adalah Prof. Dr. Harun Nasution. Karena
ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi penaung dan penanggung jawab
IAIN – IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah
dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.
Pada tanggal 3 Desember 1975, mantan Guru Besar di McGill University Prof. HM.
Rasjidi, yang juga Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada
Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi
terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’, Prof.
Rasjidi menceritakan isi suratnya:
“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang
berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasaldemi
fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat
berbahaya,
dan saya
mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan
terhadap
buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi
dijadikan
sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” (HM. Rasjidi, Koreksi 
14
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’, Jakarta:
Bulan Bintang, 1977. Hal 1).
Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya
mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada
umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap
buku Harun. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution
tersebut.
Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting direnungkan saat ini, mengingat buku IBDA karya
Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah
maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang hadist Nabi Muhammad saw, Harun
menulis: “Berlain halnya dengan Al Qur’an, hadist tidak dikenal dicatat tidak dihafal di
zaman Nabi… Karena hadist tidak dihafal dan tidak dicatat sejak semula, tidaklah dapat
diketahui dengan pasti mana hadist yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadist
yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinalan
semua hadist dari Nabi.” (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: UI Press, 1986, Jilid 1, hal 29).
Sekilas saja mencermati kata-kata tersebut, jelas sangat keliru, sebab banyak sahabat
yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadist Nabi saw. Juga, tidak benar,
bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadist Nabi. Kata-kata
Harun itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadist Nabi sebagai pedoman kaum
Muslim setelah Al Qur’an. Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge,
berjudul “Studies in Early Hadith Literature” membuktikan proses pencatatan hadist
sejak zaman Nabi, disamping proses hafalannya.
Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan
tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya
sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi).
Padahal, Islam satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain,
yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion).
Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama
tauhid’ – ada empat, yaitu Islam, Yahudi, ,Kristen dan Hindu. Ketiga agama pertama,
kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini.
tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan
Yahudi. Kemurniaan tauhid agama Kristen dengan adanya paham Trinitas, sudah tidak
terpelihara lagi (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI
Press, 1986, Jilid 1, hal 15-22).
Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana
Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi Ahlul Kitab?
Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah
memberikan kritik keras, bahwa: :Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian
ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi Islam yang ingin dipudarkan
keimanannya.” (HM Rasjidi, op.cit, hal 24).
Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan
IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam mata kuliah
pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal,
kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan
yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional (Lihat, Abdul Halim (ed),
Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005, hal xvi-xvii).
Kini, metode kajian agama yang berbasis pada epistemology relativisme kebenaran
dikembangkan di berbagai kampus Islam. Sadar atau tidak. Sebagai contoh sebuah buku
berjudul “Ilmu Studi Agama” untuk mahasiswa Fakultas Ushuluddin di UIN Bandung, 
15
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
ditulis: “Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakinan
tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber.” (hal.
17)…”Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan,
sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh penggunaan
standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi
agama lain, dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui
standar ganda inilah, terjadi perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas
agama lain.” (hal. 24)… Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau
sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya.
Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama
terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi
relative, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relative. (hal. 20) (Adeng
Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2005). 
Dampak penggunaan epistemology relativisme dalam pendekatan studi agama – dengan
menghilangkan aspek keyakinan pada kebenaran agama sendiri – sangatlah besar dalam
cara pikir dan cara pandang terhadap kebenaran. Epistemology relative ini telah cukup
luas menyebar, sehingga banyak yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama,
semuanya jalan menuju kebenaran, dan jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang
sama. Padahal, sebagaimana telah dikutip pernyataan pernyair terkenal Pakistan, Moh.
Iqbal, bahwa jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan
(Lack of conviction is worse than slavery).
Tantangan yang serius dari metode studi agama gaya orientalis, misalnya ditandai
dengan program studi agama-agama untuk tingkat doctor (Ph.D) di Yogyakarta (InterReligious
International Ph.D Program), yang
merupakan hasil kerjasama UGM, UIN
Sunan
Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Ketiga kampus itu
bekerjasama
membentuk satu konsorsium yang diberi nama “Indonesian Concortium for
Religious
Studies” (ICRS – Yogya).
Program yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bernard Adeney – Risakotta ini selain bertujuan
untuk mempelajari lebih mendalam tentang keberagamaan agama di Indonesia, jug
bertujuan untuk member pencerahan bagi masyarakat Indonesia agar tidak terjebak
dalam fanatisme sempit (Kompas, 7 Oktober 2006). Menurut Prof. Bernard, ICRS
Yogya merupakan konsorsium pertama yang mengabungkan universitas-universitas
dengan semangat saling percaya untuk belajar satu sama lain tentan keberagaman agama
di Indonesia. “Program doctor ini akan mengkaji semua agama-agama di Indonesia
melalui dialog dan pendekatan ilmu sosial sekuler, studi agama perspektif Islam, dan
tradisi ilmu teologi Kristen. Agama-agama lain juga diteliti melalui pendekatan masingmasing
yang diperkaya
dengan
dialog lintas agama, ujarnya.
Program doctoral studi lintas agama ICRS ini menawarkan tiga areas kajian, yaitu: (1)
Cultural and Historical Studies of Religion (2) Religion, Social Theory and
Contemporary Issues, dan (3) Comparative Interpretation of Sacred Texts. Disebutkan
dalam brosur program ini, dalam kajian agama-agama versi ICRS Yogya, misalnya
mahasiswa akan diajak untuk mendengarkan paparan tentang berbagai sejarah agama di
Indonesia ditinjau dari berbagai perspektif dan diajar oleh para dosen dari berbagai
disiplin dan berbagai agama. Sebagai contoh, para mahasiswa akan mendengarkan
sejarah agama-agama di Indonesia dari agama Budha, Hindu, Islam, Kristen, juga dari
kaum yang aspirasinya terabaikan (forgotten voices) seperti “indigenous Indonesian
religions (agama suku)” dan kelompok-kelomok terlarang (forbidden groups). Diantara
dosen tamu yang dicadangkan member kuliah adalah Prof. Dr. Nasr H. Abu Zaid
(Utrecht, ISIM), Prof. Dr. Abdullah A. An Na’im, dan Dr. Khaled M Abou El Fadl
(UCLA).
16
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Oleh: Adian Husaini, M.A. (Kandidat Doctor ISTACS IIUM Malaysia, Dosen Pasca
Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia)
5 Tanggapan »
1.
1. Studi Agama-Agama adalah sama dengan menyampaikan RISALAH TUHAN 
/ RISALAH ALLAH sesuai Al Maidah (5) ayat 67, Al An Aam (6) ayat 124,125,
Al A’raaf (7) ayat 62,68,79,93,144, Al Ahzaab (33) ayat 38,39,40, Al Jinn (72)
ayat 23,26,27,28. (isinya skema tunggal yang disusun sejak Adam sampai kiamat
yang disyiarkan oleh nabi-nabi mengikuti syiar-syiar Allah pada Baitullah dan
sekitarnya atau manasik haji sesuai Al Baqarah (2) ayat 125, Ali Imran (3) ayat
96,97, Al Maidah (5) ayat 97). 
2. Studi Salah Satu Agama adalah sama dengan menyampaikan RISALAH
SALAH SATU NABI / RASUL sangat dilarang dan adalah benar-benar kafir
sesuai An Nisaa (4) ayat 150,151,152.
3. Untuk mengerti penjelasannya manusia wajib menunggu-nunggu dan tidak
melupakan datangnya Allah menurunkan HARI TAKWIL KEBENARAN
KITAB sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53.
4. Untuk menjelaskan semuannya secara total, kami telah menerbitkan buku
panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
berikut 4 macam lampiran acuan:
SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI
TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”
hasil karya tulis ilmiah otodidak penelitian terhadap isi kitab-kitab suci agamaagama
selama 25 tahun oleh:
“SOEGANA
GANDAKOESOEMA”
dengan
penerbit:
“GOD-A
CENTRE”
dan
mendapat sambutan hangat tertulis dari:
“DEPARTEMEN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA”
DitJen Bimas Buddha,
umat
Kristiani dan tokoh Islam
Pakistan.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi.
Komentar oleh Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi. — 3 Februari, 2008 @ 8:43 am
2.
Kepada yang mulia Adian Husaini M.A.,
1. Didalam ulasan diatas anda baru menyampaikan Ali Imran (3) ayat 19,85 saja.
2. Coba perhatikan: Ali Imaran (3) ayat 19,81,82,83,85, Al Miadah (5) ayat 3, Al
Hajj (22) ayat 78, Al Baqarah (2) ayat 208 dan An Nashr (110 ) ayat 1,2,3.
17
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
3. Pertanyaannya;
1. Apakah yang disebut agama disisi Allah adalah Islam yang mengalami masa
muslimin sesuai Al Baqarah (2) ayat 132, Ali Imran (3) ayat 102, Al A’raaf (7)
ayat 126, Yusuf (12) ayat 101, Muhammad (47) ayat 34, At Taubah (9) ayat 125.
2. Apakah Agama Allah sesuai Ali Imran (3) ayat 83 (semuanya apa yang
dilangit dan bumi sujud kepadanya suka rela atau terpaksa dukungan Fushshilat
(41) ayat 11).
3. Agama Allah tempat manusia berbondong masuk kepadanya berbondongbondong
dengan kemenangan sesuai An Nahsr (110) ayat 1,2,3 (kapankan ini
terjadi
pada awal millennium ke-3 masehi).
Kalau anda mengerti ini semuannya ini, berarti anda mempergunakan I.Q. nya
Nabi Susi Muhammad saw. hari ini.
Silahkan membahas Islam sejak Adam sampai kiamat (syariat kiamat sesuai Al
Jaatsiyah (45) ayat 16,17,18) 
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembararu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi.
Komentar oleh Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi. — 3 Februari, 2008 @ 9:03 am
3.
Sedang pengertian Allah menciptaan langit dan bumi didalam kitab suci, 
kebiasan manusia diarahkan kepad penciptaan benda-beda dan lain-lain yang
berada diangkasa selurunhnya.
Padahal yang dimaksud oleh Nabi Suci adalah susunan penciptaan agama-agama
sejak Adam sampai kiamat disebut langit dan bumi yang biasa dibinasakan oleh
nafsu manusia sesuai Al Mu’minuun (23) ayat 71:
1. Langit sebanyak 7 sesuai Al Baqarah (2) ayat 29.
2, Lanigit dekat 1 sesuai Fushshilat (41) ayat 12, Ash Shaffat (37) ayat 6, Al
Mulk (67) ayat 5.
3. Bumi terbelah sesuai Qaaf (50) ayat ayat 44, Ar Ra’ad (13) ayat 31 atau bumi
didanti dengan yang lain sesuai Ibrahim (14) ayat 48.
4. Langit digulung sesuai Al Anbiyaa (21) ayat 104.
5. Bumi digenggam sesuai Az Zumar (39) ayat 67.
6. Langit dan bumi asalnya satu sesuai Al Anbiyaa (21) ayat 30 (pengertiannya
umat asal satu umat kembali kepada satu umat sesuai An Nahl (16) ayat 93, atau
asal dari ilmu Adam sesuai Al Baqarah (2) ayat 30-39, kembali kepada ilmu
Adam sesuai Al A’raaf (7) ayat 27, Thaha (20) ayat 117, maka oleh kerena itu
kewajiban manusia mencari Ilmu Pengetahuan Agama Ajaran Adam yang dapat
membawa kepada sorga kesatuan agama sesuai maksud An Nashr (110) ayat
1,2,3.)
7. Langit dan bumi dihubungkan dengan bahasa dan warna kuli sesuai Ar Ruum
(30 ayat 22.
8. Khalifah dibumi sama dengan rahasia langit dan bumi sesuai Al Baqarah (2)
ayat 30,33.
9. Langit dan bumi diciptakan dalam 2 masa sesuai Fushshilat (41) ayat 9,12.
10. Langit dan bumi diciptakan dalam 4 masa sesuai Fushshilat (41) ayat 10.
11. Langit dan bumi diciptakan dalam 6 masa sesuai Al A’raaf (7) ayat 54,
Yunus (10) ayat 3, Huud (11) ayat 7, Al Furqaan (25) ayat 59, AsSajdah (32)
ayat 4, Al Hadiid (57) ayat 4.
12. Kepada langit dan bumi diwahyukan sesuai Fushshilat (41) ayat 12.
13. Penciptaan kepercayaan, keyakinan diantara keduanya langit dan bumi itu 
18
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
sesuai Al Hijr (15) ayat 85, Maryam (19) ayat 65, Ruun (30) ayat 8 dll.
14. Yang ghaib dilangit dan bumi sesuai An Naml (27) ayat 75,87, Al Kahfi (18)
ayat 26, Huud (11) ayat 123 Al Furqaan (25) ayat 16 dll.
15. Bumi diwariskan kepada orang shaleh sesuai Al Anbiyaa (21) ayat 105, dan
banyak lagi hal-hal yang berhubungan dengan langit dan bumi dan dapat dicari
oleh saudara!
Ilmu Pengetahan Persepsi Tunggal Agama seperti inilah yang wajib dicari agar
semua umat beragama tidak berselisih dan tidak pecah-belah didalam agam
sebanyak 73 firqah, sesuai Ar Ruum (30) ayat 32, Al Mu’minuun (23) ayat 53,54
(sesat), An Nahl (16) ayat 93, An Nashr (110) ayat 1,2,3 (menang).
Demikianlah penjelasan kami, mohon maaf apabila salah?
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Perspepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi.
Komentar oleh Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi. — 3 Februari, 2008 @ 10:13 am
4.
Kalau manusia sungguh-sungguh menginginkan Berstudi Agama-Agama, tidak 
ada duanya dan mutlak wajib melaksanakan perintah Allah didalam Yunus (100)
ayat 94: Maka jika kamu (Muhammad dan umatnya) dalam keragu-raguan
tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepad orangorang
yang membaca kitab sebelum kamu (kitab perjanjian lama dan baru,
Weda,
Tipitaka, Su Si dan lain sebagainya seperti dahulu nabi Muhammad saw.
menanyakan
kepada Waraqah
bin Naufal bin
Asab bin
Abdul
Uzza, seorang
nasrani
anak paman Hadijah isteri nabi). Sungguh telah datang kebenaran
kepadamu
dari Tuhanmu (sejak Adam sampai kiamat), sebab itu janganlah
sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang
ragu.
Prinsip
mutlak nabi Muhammad saw. seperti ini wajib diikuti oleh umat Islam

era
globalisasi, bahkan oleh semua umat beragama, sebagaimana pembawa
HARI
TAKWIL KEBENARAN KITAB sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53, atau
orang
pembawa hari kebangkitan semua manusia dengan ilmu pengetahuan
agama
sesuai Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22, telah berbuat seperti nabi suci.
Kami
sarankan
andapun berbuat seperti nabi
suci !
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi.
Komentar oleh Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi. — 25 Maret, 2008 @ 8:39 pm
5.
Buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Tersedia ditoko buku K A L A M
Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarta 13120
Telp. 62-21-8573388
19
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Komentar oleh Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi — 7 Juli, 2008 @ 12:50 pm
11 Januari, 2008
- HAR -
Kajian Al Qur’an dan Tafsir Al Qur’an
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 9:00 am 
Kini, kajian Islam ala orientalis sudah mulai berkembang di dunia Islam, termasuk di
Indonesia, dan setiap tahun, ribuan sarjana Muslim belajar tentang Islam kepada kaum
Yahudi-Kristen. Bukan hanya itu, studi Islam ala orientalis, juga sudah diadopsi di
kampus-kampus berlabel Islam. Sebagai contoh, dalam studi Al Qur’an, kini
dikembangkan ajaran kritis terhadap Al Qur’an yang mengadopsi tradisi Bibel. Berbagai
buku, tesis, skripsi, dan jurnal diterbitkan mengkritik otentisitas dan kesucian Al Qur’an.
Bahkan sudah ada dosen IAIN Surabaya yang secara terang-terangan menginjak lafaz
Allah yang ditulisnya sendiri di hadapan para mahasiswanya, karena menganggap Al
Qur’an adalah produk budaya dan posisinua sama dengan rumput.
Seperti dilaporkan Majalah Gatra edisi 7 Juni 2006, pada 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51
tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas
Dakwah, menerangkan posisi Al Qur’an sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai
budaya, posisi Al Qur’an tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan
lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu.
“Al Qur’an dipandang sacral secara substansi, tapi tulisannya tidak sacral”, katanya
setengah berteriak, dengan mata yang sedikit membelalak.
Wacana dekonstruksi konsep wahyu dan tafsir al Qur’an merupakan wacana yang
berkembang pesat di Indonesia saat ini. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini
sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan
kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari Scholl of
Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu
buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testament”.
Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton
Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap
Teks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History
of the Investigation of its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk
“melirik” Al Qur’an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al Qur’an. Pada tahun
1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan Guru Besar di Universitas
Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik
teks terhadap Al Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang
berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has
surely come to subject the text of Kur’an to the same criticism as that to which we
subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian
scripture) (Lihat artikelnya dalam Bulletin of the John Rylands Library, di Jurnal Al
Insan, No 1/Januari 2005).
Hampir satu setengah abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al Qur’an bekerja
keras untuk menunjukkan bahwa al Qur’an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible.
Mereka tidak berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak
manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham 
20
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
pluralism agama, maka semua agama harus didudukan pada posisi yang
sejajar,sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling
benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada
kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lenyap jika tidak menyentuh aspek kesucian
al Qur’an. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinkan kaum Muslim, bahwa
al Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka
mengabaikan bukti-bukti agama lain. Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Qur’an di
IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al Qur’an”, yang isinya
menyatakan:
“ Uraian dalam paragraph-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas
proses pemantapan teks dan bacaan Al Qur’an, sembari menegaskan bahwa proses
tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks
maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.
karena itu, tulisan ini juga akan mengangas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu
upaya penyuntingan Edisi Kritis Al Qur’an” (lihat makalah Taufik Adnan Kamal
berjudul “Edisi Kritis Al Qur’an”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia”.
Jakarta: JIL, 2002. Hal 78).
Taufik berusaha menyakinkan, bahwa al Qur’an saat ini masih bermasalah, tidak kritis,
sehingga perlu diedit lagi. Dosen ini pun menulis sebuah buku serius berjudul
“Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan
Mushaf Utsmani (Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an, Yogyakarta:
FKBA, 2001). Penulis buku ini mencoba menyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih
bermasalah, dan tidak layak disucikan.
Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga
menghujat Kitab Suci Al Qur’an. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku
berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang
doctor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam
buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al Qur’an seperti kata-kata
berikut ini:
“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri
kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan
Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan
baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang
dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih
dahulu menempatkan Mushaf Utsaimin itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata
lain, Mushaf itu tidak sacral dan absolute, melainkan profane dan fleksibel. Yang sacral
dan absolute hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses
pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut,
tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran
kita.”(Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2004. Hal 123).
Dosen di Universitas Paramadina, dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar
konsep dasar Islam tentang Al Qur’an:
“Sebagian besar kaum Muslim menyakini bahwa Al Qur’an dari halaman pertama
hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum
Muslim juga menyakini bahwa Al Qur’an, yang mereka lihat dan baca hari ini adalah
persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. 
21
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan
teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formulisasi
doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Al Qur’an sendiri sesungguhnya
penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan,
pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” (Luthfi Assyaukanie, Merenungkan
Sejarah Alqur’an”, dalam Abdul Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, Jakarta:
Jaringan Islam Liberal, 2005. Hal 1). 
Jadi, di berbagai penerbitan, wacana yang menyerang Al Qur’an telah dilakukan dan
secara terang-terangan menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap Al Qur’an. Itu
bisa dilihat dalam buku-buku, artikel-artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai
contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 23 Th XI
2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang Al Qur’an dan sahabat
Nabi Muhammad Saw: “ Dalam studi kritik Al Qur’an, pertama kali yang perlu
dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Al Qur’an kini sudah berupa teks
yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad
silam telah mengkontruks Al Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figure yang
saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan
realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat
tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam
memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca Muhammad tampak
kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad.
Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca Muhammad, yang paling
paling mencelakakan adalah pembukuan Al Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh khalifah
Utsman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf
terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain.
Imbas dari sikap Utsman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam
untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul
asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Utsman, untuk
mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab (dan Islam). Hegemoni ini tampak
jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama, dan budaya. Dan hanya orang yang
mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
(Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan
judul-judul yang melecehkan al Qur’an dan menghina para sahabat Nabi Muhammad
saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy” oleh M. Khalidul Adib Ach,
“Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah” oleh Tedi
Kholiludin, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca
Muhammad”, oleh Iman Fadhilah el-Barbazzy Erha, dan sebagainya).
Penyerangan terhadap Al Qur’an di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal
yang baru dalam masyarakat Muslim Indonesia. Dulu, berates-ratus tahun, wacana itu
hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suarasuara
yang
menghujat
al Qur’an justru lahir dari lingkungan
perguruan tinggi Islam,
yang
kebanyakan hanya
menjiplak
dan mengulang-ulang pendapat lama yang beratusratus
tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele dan
perlu
dijawab secara akademis dan ilmiah.
Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al Qur’an juga dilakukan
dengan mengembangkan studi kritik al Qur’an dan studi hermeneutika di Perguruan
Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid
Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak
diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “Al
Qur’an merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid
yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Buku Arkoun,
Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian
Orientalisme terhadap Al Qur’an dan Hadist” di program Tafsir Hadist Fakultas 
22
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Ushuluddin UIN Jakarta. Tujuan mata kuliah ini adalah agar “Mahasiswa dapat
menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al Qur’an dan Hadist.” Dalam
bukunya tersebut, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para
cendikiawan Muslim tidak mau mengikuti orientalis Yahudi dan Kristen yang telah
melakukan kritik terhadap Bibel. Ia menulis dalam bukunya: “Sayang sekali bahwa
kritik filosofis terhadap teks suci-yang telah diterapkan pada Bible berbahasa Hebrew
dan Perjanjian Baru tetapi tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negative bagi
konsep wahyu-terus ditolak oleh pendapat ilmiah umat Islam. Karya-karya aliran Jerman
terus diabaikan, dan ilmuan-ilmuan Muslim tidak berani melakukan penelitian semacam
itu walaupun penelitian ini akan memperkuat fondasi ilmiah sejarah mushaf dan teologi
wahyu. Alasan yang melatarbelakangi perlawanan ini bersifat politik dan psikologis.”
Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir penganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi
mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadist UIN Jakarta dan sejumlah perguruan
tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan
bersifat dekonstuktif terhadap Al Qur’an dan syari’at Islam (Paparan lebih jauh tentang
masalah liberalisasi al Qur’an di Perguruan Tinggi Islam, lihat, Adian Husaini,
Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: GIP, 2006).
Sebagai contoh, kini dikembangkan satu metode historis kontekstual dalam penafsiran al
Qur’an yang berdampak serius pada syariat Islam. Prof. Siti Musdah Mulia, seorang
tokoh feminis, misalnya, melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan
metode kontekstualisasi. Ia menulis: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat
itu (QS 60:10, pen), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat
memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum
Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat
diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus
dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan
dimaksud tercabut dengan sendirinya.” (Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Bandung:
Mizan, 2005. Hal 63).
Oleh: Adian Husaini, M.A. (Kandidat Doctor ISTACS IIUM Malaysia, Dosen Pasca
Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia)
7 Tanggapan 
1.
Pembahasan “KAJIAN Al QURAN DAN TAFSIR Al QURAN” telah 
mengewantah menjadi TAKWIL KEBENARAN KITAB yang wajib ditunggutunggu
dan tidak dilupakan menurut hujjah Allah, hujjah nabi Muhammad saw.
dan
hujjah Kitab suci-Nya sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53 dan didukung oleh
pengejewantahan
ROH KEBENARAN
yang juga wajib ditunggu-tunggu
dan
tidak
dilupakan sesuai Yohanes 16:12-15 sesuai hujjah Bapa, hujjah Yesus
Kristus
a.s. dan hujjah kitab suci-Nya
(Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru) dan
hasilnya
telah menjadi buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama
berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
berikut 4 macam lampiran acuan:
“SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB
SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”
hasil karya tulis ilmiah otodidak penelitian terhadap isi kitab-kitab suci agamaagama
selama 25 tahun oleh:
“SOEGANA
GANDAKOESOEMA”
dengan
penerbit:
23
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
GOD-A CENTRE”
dan mendapat sambutan hangat tertulis dari:
“DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA” DitJen Bimas Buddha,
umat Kristiani dan tokoh Islam Pakistan.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi.
Komentar oleh Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi. — 17 Januari, 2008 @ 12:55 am
2.
assalamu’alaikum wr. wb.
saya kira kita tidak akan selesai melihat permasalahan dari satu sudut saja.
perkembangan hermeniotik (takwil) sudah ada sebelumnya, para mufassirin tidak
sedikit yang menggunakan metode ini, termasuk memojokkan orientalis dengan
alasan klasik. Toh banyak juga sumbangsih yang telah diberikan kepada para
tokoh yang konon dianggap orientalis juga.
bukankah perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dihentikan apalagi
perkembangan bahasa. disinilah menurut saya takwil berlaku.
wallahu a’lam
wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Komentar oleh labib — 22 Januari, 2008 @ 11:02 pm
3.
Valentine day name after
Komentar oleh nunpv — 12 Februari, 2008 @ 6:57 pm
4.
Osmond family
Komentar oleh sfaaa — 6 Maret, 2008 @ 6:57 am
5.
Online law schools
Komentar oleh ckupo — 16 Maret, 2008 @ 7:38 pm
6.
Beautiful work! Naked college babes llllv
7.
Komentar oleh fuzot — 2 Mei, 2008 @ 4:40 am
24
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Tersedia ditoko buku K A L A M
Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarta 13120
Telp. 62-21-8573388
Komentar oleh Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama
millennium ke-3 masehi — 7 Juli, 2008 @ 1:26 pm
4 Januari, 2008
- HAR -
Orientalisme
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 8:16 am 
Secara ringkas, bisa dikatakan, sebenarnya, telah berates tahun lalu, kaum Yahudi dan
Nasrani di Barat telah melakukan pengkajian terhadap Islam, dengan tujuan untuk
memahami seluk-beluk Islam dan kaum Muslim. Sejak lama mereka telah
mengumpulkan kitab-kitab dan manuskrip karya ulama Islam, mendirikan pusat-pusat
studi Islam di Negara-negara Barat. Dalam bukunya, Al Mustasyriquna wa al Tarikhul
Islam, Prof. Dr. Ali Husny al Kharbuthly, Guru Besar di Universitas ‘Ain Syams, Mesir,
mencatat, ada tiga tujuan kaum Orientalis dalam studi Islam, yaitu: (1) Untuk
penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, (2) Untuk kepentingan penjajahan,
(3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata (Hamka, Studi Islam, Pustaka
Panjimas: Jakart, 1985 hal 12).
Sejak perang Salib berlangsung mulai tahun 1095, ada sebagian tokoh Kristen yang
menilai Perang Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menaklukan kaum Muslim.
Salah satu tokoh terkenal adalah Peter The Venerable atau Petrus Venerabilis (10941156
M).
Peter adalah tokoh
misionaris Kristen pertama
di dunia Islam,
yang
merancang

bagaimana
menaklukan
umat Islam
dengan
pemikiran, bukan
dengan
senjata.
Ketika itu,

ia
seorang
kepala
Biara
Cluny,
Perancis-sebuah
biara
yang
sangat
berpengaruh
di
Eropa

Abad
Pertengahan.
Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ ia menghimpun
sejumlah cendikiawan untuk menerjemahkan karya-karya kaum Muslim ke dalam
bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai bahan untuk misionaris Kristen
terhadap dunia Islam. Salah satu sukses usaha Peter adalah terjemahan Al Qur’an dalam
bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai 1143), yang diberi judul “Liber Legis
Saracenorum quem Alcorant Vocant” (Kitab Hukum Islam yang disebut Al Qur’an). Ini
adalah terjemahan  pertama al Qur’an dalam bahasa Latin, yang selama berates-ratus
tahun menjadi rujukan kaum Kristen di Eropa dalam melihat Islam. Barulah pada tahun
1698, Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap terjemahan Robert of Ketton dan
menerjemahkan al Qur’an sekali lagi ke dalam bahasa Latin dengan judul “Alcorani
Textus Receptus”. 
Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan oleh
kaum Kristen, agar mereka dapat “membaptis pemikiran kaum Muslimin”. Jadi, kaum
Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan ekspedisi militer, melainkan juga harus
dikalahkan dalam pemikiran mereka. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, Peter 
25
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
membuat pernyataan: “…aku menyerangmu, bukan bagaimana sebagian dari kami
(orang-orang Kristen) sering melakukan, dengan senjata dengan kata-kata, bukan dengan
kekuatan, namun dengan cinta..” (But I attack you not, as some of us <Christians> often
do, by arms, but by word; not by force, but by reason; not ini hatred, but in love…).
Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristen dengan cara
mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan Kristen bahwa di luar
Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Islam, menurutnya, adalah
sekte kafir terkutuk sekaligus berbahaya (execrable and noxious heresy), doktrin
berbahaya (pestilential doctrine), ingkar (impious) dan sekte terlaknat (a damnable sect);
dan Muhammad adalah orang jahat (an evil man).
Selain menugaskan para sarjana Kristen menerjemahkan naskah-naskah bahasa Arab ke
dalam bahasa Latin, Peter juga menulis dua buku yang menyerang pemikiran Islam.
Tentang Al Qur’an, Peter menyatakan Al Qur’an tidak terlepas dari para setan. Setan
telah mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti Kristus. Setan
telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan “diabolical
scripture” (Riset yang serius tentang Peter Venerabilis ini bisa dibaca dalam buku Adnin
Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al Qur’an, Penerbit GIP: Jakarta, 2005).
Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan kaum misionaris Kristen
terhadap kaum Muslimin. Henry Martyn, tokoh misionaris berikutnya, juga membuat
pernyataan, “Aku datang untuk menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dalam
kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam
cinta.” Hal senada dikatakan tokoh misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat
banyak ksatria pergi ke tanah suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya
dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai
apa yang mereka pikir bisa diperoleh.” Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat
ditaklukan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan do’a.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M. Zwemmer, misionaris Kristen di
Timur Tengah, dalam buku “Islam: A Challenge to Faith” (edisi pertama tahun 1907).
Buku yang berisi resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai
“beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad
dari sudut pandang missi Kristen”. Zwemmer menyebut bukunya sebagai “studies on the
Mohammed religion and the needs and opportunities of the Mohammed World From the
standpoint of Christian Missions”. Di akhir  penjelasannya tentang Al Qur’an, Zwemmer
mencatat: “In this respect the Koran is inferior to the sacred books of ancient Egypt,
India, and China, thought, unlike them, it is monotheistic. It can not be compared with
the Old or the New Testament.” (Dalam masalah ini, Al Qur’an adalah inferior
dibandingkan dengan buku-buku suci Mesir Kuno, India, China. Meskipun, tidak seperti
mereka, Al Qur’an adalam monoteistik. Ini tidak bisa dibandingkan dengan Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru)(Samuel M. Zwemmer, Islam: A Challenge to Faith. London:
Darf Publisher Limited, 1985. Hal 91).
Strategi penaklukan Islam melalui pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh para
orientalis Barat. Sebagian dari mereka memang membawa semangat lama kaum
misionaris, sebagian lagi melakukannya untuk kepentingan penjajahan (kolonialisme)
dan sebagian lagi bermotifkan semata-mata untuk kajian ilmiah. Kini setelah  beratusratus
tahun,
kaum
orientalis telah berhasil
meraih sukses
besar dalam bidang studi Islam.

Bukan

saja mereka berhasil mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan
menerbitkan ribuan buku tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun
literature-literatur Islam dalam jumlah yang sangat besar. Usaha-usaha mereka selama
berabad-abad ini bisa dipahami, sebab Islam adalah satu-satunya agama yang tegas
memberikan kritik-kritik yang mendasar terhadap basis kepercayaan Yahudi dan
Nasrani. Hanya Al Qur’anlah, satu-satunya Kitab Suci yang memberikan kritik-kritik 
26
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
tajam dan mendasar terhadap dasar-dasar kepercayaan agama Yahudi dan Kristen (Prof.
SMN Al Attas mencatat dalam buku terkenalnya, Islam and Secularism: “The
confrontation between Western culture and civilization and Islam, from the historical
religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must
realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one. Islam is
seen by the West as posing a challenge to it’s very away of life; a challenge not only to
Western Christianity, but also to Aristotelianism and epistemological and philosophical
principles deriving from Graeco-Roman thought which forms the dominant component
integrating the key element in dimensions of Western worldview.”Kuala Lumpur,
ISTAC, 1993. Hal 105).
Di Indonesia, jejak-jejak orientalisme yang sangat gamblang bisa ditelusuri dari
pemikiran-pemikiran para pengkaji Islam dari Belanda, seperti Snouck Hurgronje.
Tahun 1911, Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya “Nederland en de Islam”, yang
berisi pemikiran dan strategi cara menghadapi Islam: (1) Dalam bidang yang murni
agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memilihara kebebasan
mutlak, (2) Dalam bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi “untuk kepentingan
bersama”, (3) Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang
dipaksakan, sekalipun harus mendorong kea rah proses evolusi hukum sebanyak
mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negative ini harus menuju ke
arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan dari
beberapa “peninggalan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret
mereka hingga demikian lamanya” agar supaya dengan jalan ini-dengan perantaraan
pendidikan dan pengajaran-dapat memperoleh kesempatan “asosiasi” cultural dengan
kebudayaan Barat (dikutip dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1998. Hal 32).
Tahun 1938, misalnya, Mohammad Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul:
“Suara Azan dan Lonceng Gereja”. Natsir membuka tulisannya dengan untaian kalimat
berikut: “Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri! Qaedah ini
dipegang benar oleh Zending dalam pekerjaannya menasranikan orang Islam. Tidak ada
satu agama yang amat menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka
daripada agama Islam.”
Artikel Natsir ini mengomentari hasil Konfrensi Zending Kristen di Amsterdam pada
25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan Konfrensi tersebut, yang antara lain
menyorot secara tajam kondisi umat Islam Indonesia. Dr. Bakker, seorang pembicara
dalam Konfrensi tersebut mengungkapkan kondisi umat Islam sebagaimana yang
digambarkan dalam buku Prof. Dr. H. Kraemer, The Crhistian Message in a nonChristian

World. Kata Dr. Bakker, “Orang Islam yang berada di bawah pemerintahan
asing lebih konservatif memegang agama mereka dari negeri-negeri yang sudah
merdeka.”
Dr. Bakker juga mengungkap tentang pengaruh pendidikan Barat terhadap umat Islam.
Katanya, “Masih juga banyak orang Islam memegang agama mereka yang turuntemurun
dari
dulu
itu,
akan
tetapi
banyak
pula
yang
sudah
terlepas
dari
agama
mereka,

terutama
lantaran
pelajaran
Barat
yang
katanya
netral
itu
telah
terampas
dasar
lain
yang

akan
gantinya.”
Natsir sangat peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Ia
menulis, bahwa ketika itu, sudah lazim dijumpai anak-anak Islam yang telah sampai ke
sekolah-sekolah menengah yang belum pernah membaca Al Fatihah seumur hidupnya,
atau susah payah belajar membaca syahadat menjelang dilangsungkannya akad nikah.
Karena itulah, tulis Natsir, Prof. Snouck Hurgronje  pernah menulis dalam bukunya,
Nederland en de Islam, “Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het 
27
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang
Muslimin dari gengaman Islam).
Selanjutnya Dr. Bakker mengingatkan, bahwa kaum misionaris Kristen harus lebih
serius dalam menjalankan aksinya di Indonesia, supaya di masa yang akan datang
Indonesia tidak lebih susah dimasuki oleh misi Kristen.
Menanggapi rencana Misi Kristen di Indonesia tersebut, Natsir mengimbau umat Islam:
“Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan kecakapan menyusun
barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah Wereldcongres dari Zending itu dengan
congres Islam yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng
keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara azan bakal dikalahkan oleh
lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun rapi, akan mengalahkan barang haq yang
centang-perenang (Artikel Natsir dimuat di Majalah Pandji Islam, No. 33-34, 1938;
dikutip dari buku M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia. Penerbit CV. Bulan Sabit:
Bandung, 1969).
Oleh: Adian Husaini, M.A. (Kandidat Doctor ISTACS IIUM Malaysia, Dosen
Pasca Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia)
Tidak ada Komentar »
4 Januari, 2008
- HAR -
Islam dan Sentuhan Peradaban Lain?
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 8:15 am 
Pengantar
Saat bulan Juni 2005 Rektor UI, UGM, UIN-UIN, ketua MPR berkunjung ke Moskow
dan Leningrad. Suatu kehidupan dalam iklim yang berbeda dengan Timur Tengah
membawa implikasi ritual yang khusus yang saat kenabian belum dikenal.
Hal itu menegaskan kembali bahwa tidak pernah ada di dunia ini suatu komunitas yang
maju dan berkembang kecuali membuka diri bersentuhan dengan peradaban yang ada
sembari berpijak pada kecerdasan local. Orientalis atau occidentalis lebih merupakan
suatu cara bereksistensi mempertahankan diri, menguasai atau dikuasai.
Islam juga hadir dalam ruang budaya yang sudah mapan. Suatu masa Islam berhasil
muncul ke permukaan di saat Columbus belum lahir. Romawi pun akhirnya mengakui
kehadiran Islam tersebut mungkin seperti posisi terbalik sekarang yang dihadapi dunia
Islam.
Tidak seluruh pengalaman dunia Islam berhasil mengatasi problemanya walaupun Islam
menjanjikan kemenangan. Sama halnya tidak seluruh pengalaman negeri dan bangsa
Barat tidak layak untuk dikaji dan dipelajari bagi kemajuan bangsa-bangsa Muslim itu
sendiri. Banyak fakta di negeri Barat yang menurut Abduh lebih Islami daripada praktek
Islam di kawasan Muslim.
28
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Orientalis Vs Occidentalis
Orientalis paling popular di negeri ini ialah Snouck Hurgronje, penasehat Gubenur
Jenderal Pemerintah HIndia Belanda, dengan Serambi Mekkahnya. Pada masa awal
pemerintahan kolonial kita juga mengenal politik etis. System hukum dan pemerintahan
negeri ini di awal kemerdekaan tidak lepas dari model kolonial, juga birokrasi dan
bentuk Negara. Tapi di masa ini pula lahir elite nasional, lulusan Belanda yang berjuang
bagi kemerdekaan negerinya.
Kita juga mengenal peneliti-peneliti Barat seperti: Clifford Geertz, Mark Woodward,
Martin van Bruinessen, Karel Stenbrink, Karl D. Jackson, Bob Hefner, dengan hasil
penelitian yang masih menjadi referensi utama pemahaman realitas sosial-politik negeri
ini. sayangnya belum ada ilmuan pribumi yang hasil penelitian tentang negeri ini paling
kurang sama populernya dengan orientalis. Dan, tidak ada ilmuan yang mencoba
menjadi occidentalis dan meneliti tentang Barat dengan hasil yang lumayan.
Sementara model sekolah, rumah sakit, layanan sosial seperti panti Jompo, panti asuhan
yatim piatu, merupakan hasil dari orientalis. System pemerintahan kerajaan-kerajaan
besar yang pernah ada di negeri ini dengan system sosial-budaya termasuk pendidikan
(pesantren) jarang dimengerti generasi yang masih hidup saat ini. jika ada buku tentang
pesantren, system sosial-budaya local yang berkualitas, itu merupakan hasil penelitian
sarjana-sarjana Barat tersebut di atas. Lebih tragis lagi kesadaran tentang kecerdasan
atau kearifan local itu juga baru datang setelah kita membaca laporan peneliti Barat
dengan hal serupa.
Kita memang memiliki khasanah peradaban luhur yang kaya. Demikian pula komunitas
Muslim di berbagai belahan dunia. Namun, informasi tentang kekayaaan khasanah itu
lebih mudah diakses di negeri-negeri Barat daripada di Timur Tengah. Apalagi jika
dibandingkan dengan kepustakaan negeri ini.
Selalu muncul dua nilai yang tampak saling menegasi (positif-negatif) dari kerja ilmuan
Barat, juga politisi Barat tersebut. Soalnya tergantung kemampuan kita untuk mandireng
pribadi. Selebihnya juga tergantung seberapa kita memiliki kemampuan menyebarkan
informasi tentang peradaban (Islam) yang menyakinkan akan kebagusan fungsionalnya.
Dan, seberapa kita terus mengembangkan kemampuan tersebut. Pendidikan dalam
negeri masih cendrung “obral” gelar bukan bagi pengembangan ilmu. Partai dan orsos
keagamaan cendrung abai atas nasib umat (rakyat) dan lebih memikirkan kenyamanan
elitenya sendiri. Karena itu, kini negeri ini mulai tersaingi negeri yang baru bebas perang
dan stabil seperti Vietnam, apalagi dengan Malaysia, kita mulai belajar kepada mereka
setelah tahun 1980-an mereka masih menimba ilmu dari negeri ini.
Islam dan Peradaban Luar
Islam, sebagaimana kita tahu, hadir dalam ruang sejarah pada abad ke-7 Masehi bukan
dalam ruang hampa. Ketika itu peradaban dunia sudah penuh dengan ajaran Nasrani,
Yahudi, Majusi, Zoroaster, Budha, Hindu dan agama local lainnya. Selain itu di dalam
peradaban dunia juga telah dipenuhi berbagai system pengetahuan, system sosial-budaya
dan politik yang terus berkembang hingga saat ini.
Di sisi lain, penerapan ajaran Islam ditentukan oleh kontruksi sosial-budaya penganut
Islam dengan komunitasnya. Demikian pula bagaimana meneladani Muhammad SAW
sebagai Rasul dan Nabiyallah. Ketika penduduk bumi sudah mencapai lebih 7 miliyar
dengan teknologi transportasi supersonic dan maya, mengenal kurban via daging kaleng,
da’I selebriti dengan ganjaran miliyaran rupiah, ada acara pildacil, nanti aka nada
pildama (mahasiswa), dlsb. Tahun 1960-an, da’I yang menerima (bukan meminta) uang
transport bisa dituduh menjual ayat-ayat Tuhan, kini sudah jamak hal ini dilakukan, 
29
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
termasuk transport khatib jum’at yang di Jakarta bisa beberapa ratus ribu rupiah. Apakah
mereka juga dilabeli menjual ayat-ayat Tuhan? Bagaimana dengan royalty buku
Kecerdasan Qur’ani?.
Dalam sejarah kenabian, perintah-perintah melakukan tindakan yang sekarang kita kenal
dengan syariah baru muncul pada pertengahan kenabian Muhamad SAW yaitu masa
sesudah hijrah di tahun kesepuluh. Institusionalisasi dan rekonstruksi ajaran Islam yang
kita kenal sekarang dengan tauhid (aqidah), syariah, kalam, fiqih, ibadah yang menjadi
focus kajian IAIN (bukan UIN) baru dimulai setelah abad Nabi SAW itu wafat. Banyak
penanda yang menunjukkan pengaruh pemikiran kalau bukan epistemology Yunani
dalam rekonstruksi ajaran Islam, satu diantaranya ialah yang kita kenal dengan ilmu
mantiq sebagai terjemahan organonnya Aristotele oleh AL Farabi.
Pentahapan dakwah Nabi seperti itu ketika beliau dikawal malaikat dan dipandu
langsung oleh Allah. Soalnya ialah bagaimana dan pada posisi apa kita menempatkan
diri dalam sirah nabawi tersebut.
Penutup
Perlu disadari bahwa Islam hadir di tengah kehadiran agama-agama besar sebelumnnya,
yaitu Yahudi, Nasrani, Majusi, Zoroaster, Hindu dan Budha serta agama local lainnya.
Islam sebaliknya menawarkan suatu system keberagaman melampaui semua jenis agama
yang ada. Untuk Islam harus menyakinkan public bahwa yang ditawarkan Islam
memang sesuatu yang baru yang lebih.
Islam ketika itu bukan dengan menyendiri tetapi dengan gagah tampil di belantara public
dengan penuh percaya diri. Seperti halnya kolonialisme, selain nilai negative juga
melahirkan tradisi baca dalam system pembelajaran “modern” yang antara lain membuat
generasi belakangan mempunyai akses dalam kemoderenan. Orientalis atau occidentalis
nilai positifnya tergantung pada siapa yang memanfaatkan peluang yang tersedia secara
cerdas. Sama seperti ketika Muhammad (sang Nabi) hadir di tengah belantara
keagamaan mondial lainnya di masa lalu.
Oleh: Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Tidak ada Komentar »
22 Desember, 2007
- HAR -
Ulama di Buku Pelajaran
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 7:38 am 
Dalam sebuah kuliah, seorang mahasiswa terkejut ketika saya jelaskan tentang peran Al
Ghazali dalam kebangkitan umat Islam di zaman Perang Salib. Menurut dia, dalam
ruang-ruang kuliah studi Islam selama ini, diajarkan bahwa Al Ghazali adalah biang
keladi kemunduran umat Islam. Setelah saya meneliti sejumlah buku studi Islam di
perguruan tinggi, cerita si mahasiswa tadi ternyata benar adanya.
Sebuah buku rujukan tentang sejarah peradaban Islam yang ditulis seorang guru besar
bidang peradaban Islam, misalnya, mengutip pendapat Nurcholish Madjid, menyatakan
bahwa pemikiran Al Ghazali itu mempunyai efek pemenjaraan kreativitas intelektual
Islam. Buku studi Islam karya dosen lain ada yang menulis, Andai Ibn Rusyd yang 
30
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
dianut oleh orang-orang Timur, bukan Al Ghazali, maka yang maju pesat di zaman
modern ini pastilah negara-negara Islam, dan bukan negara Eropa.
Karena buku-buku semacam itu diajarkan kepada para mahasiswa, maka bisa dipahami
jika banyak memakan ‘korban’. Para mahasiswa itu kemudian bersikap sinis dan tidak
tertarik lagi untuk melakukan kajian lebih mendalam. Sebagai gantinya, dimunculkanlah
sosok-sosok intelektual yang menjadi idola baru semisal Nasr Hamid Abu Zaid,
Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Abid Al Jabiri, dan sebagainya.
Buku Al Ghazali
Belum lama ini buku Hakadza Zhahara Jiilu Shalahuddin wa Hakadza Aadat Al Quds
(Demikianlah Bangkitnya Generasi Shalahudin Al Ayyubi dan Demikianlah
Kembalinya Yerusalem) karya Dr Majid Irsan Al Kilani diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia. Buku ini menarik, terutama dari sudut pandang kebangkitan sebuah
peradaban. Penerjemah buku ini, dua orang alumni Universitas Islam Madinah,
menceritakan, bahwa dosen pembimbing mereka, Dr Ghazi bin Ghazi Al Muthairi,
adalah orang yang mengenalkan dan meminta mereka membaca buku ini.
Buku ini menceritakan bagaimana kaum Muslimin mampu bangkit dari keterpurukan
selama sekitar 50 tahun, dan akhirnya berhasil merebut kembali Yerusalem setelah
dikuasai pasukan Salib selama 88 tahun. Dr Irsan Al Kilani memaparkan data-data
bahwa Shalahudin bukanlah pemain tunggal yang ‘turun dari langit’ dalam mengangkat
keterpurukan umat Islam. Tetapi, dia adalah produk dan bagian sebuah generasi baru
yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat. Dua ulama besar yang disebut
berjasa besar dalam menyiapkan generasi baru itu adalah Imam Al Ghazali dan Abdul
Qadir Al Jilani.
Dalam melakukan upaya perubahan umat yang mendasar, Al Ghazali dan Al Jilani lebih
menfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang ketika itu memang
layak menerima kekalahan (al qabiliyah lil hazimah). Faktor dasar kelemahan umat
didiagnosis dan dicarikan solusinya. Menurut Al Ghazali, masalah yang paling mendasar
dari terpuruknya umat Islam adalah faktor hubbud dunya (cinta dunia), rusaknya
pemikiran keagamaan, dan fanatisme kelompok. Untuk itu, Al Ghazali melakukan
perubahan dimulai dari dirinya sendiri, kemudian baru mengubah orang lain.
Kata penulis buku ini Al Ghazali lebih menfokuskan usahanya untuk membersihkan
masyarakat Muslim dari berbagai penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan
pentingnya mempersiapkan kaum Muslim agar mampu mengemban risalah Islam
kembali sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok bumi dan pilar-pilar iman
serta kedamaian dapat tegak dengan kokoh. .
Melalui kitab-kitab yang ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara
mendalam, Al Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenahi pertama dari
umat adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Oleh sebab itu, kitabnya yang terkenal
dia beri nama Ihya’ Ulumuddin. Secara ringkas dapat dipahami bahwa di masa Perang
Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al nafs dan jihad melawan
musuh dalam bentuk qital dengan baik..
Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan
berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al Ghazali
menekankan pentingnya masalah ilmu, akhlak, dan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Aktivitas tersebut, kata Al Ghazali, adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Ia adalah
sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika
aktivitas amar ma’ruf nahi munkar hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi
rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa, begitu
juga umat secara keseluruhan..
31
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Aktivitas Al Ghazali yang gigih dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai
pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang
tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al Ghazali seperti berpesan kepada umat,
ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan hanya
dari faktor-faktor permukaan, seperti masalah politik atau ekonomi, tetapi harus
diselesaikan dari akar persoalannya, yaitu kerusakan ilmu dan ulama. Dr Irsan Al Kilani
menyebutkan bahwa memang banyak yang salah paham terhadap Al Ghazali dan Abdul
Qadir Al Jilani. Nama yang terakhir ini adalah ulama ahli fikih mazhab Hambali yang
aktif berdakwah kepada para penguasa dan berhasil mengislamkan ribuan orang nonMuslim.
Dari madrasah-madrasah ulama itulah di kemudian hari lahir para ulama yang

alim
dan zuhud, para ustad, dan para pemimpin politik yang
saleh, zuhud, dan
mencintai
jihad
fi sabilillah..
Di belakang hari, memang terjadi penyimpangan di madrasah Al Qadiriyah. Maka,
dalam kondisi terpuruk, umat Islam tidak seyogyanya berpangku tangan, menunggu
datangnya seorang pemimpin (ratu adil). Mereka harus mengubah kondisi mereka
sendiri, dari ‘kondisi kekalahan’ menuju ‘kondisi kemanangan’. Sebab, memang Allah
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri
mereka sendiri (QS 13:11)..
Bersikap adil
Belum lama ini, dalam sebuah diskusi di tentang pemikiran Ibnul Qayyim Al Jauziyah di
Berlin, seorang sarjana Indonesia berusaha membuktikan keterkaitan antara pemikiran 
Ibn Taimiyah dengan terorisme. Salah satu buktinya, menurutnya, para ’teroris’ memang
membaca buku-buku Ibn Taimiyah. Cara-cara pengkajian semacam ini tentu saja tidak
adil dan tidak komprehensif. Hampir tidak ada sarjana Barat yang membuat kesimpulan,
bahwa karena George Bush rutin membaca Bibel, maka Bibel dikatakan sebagai sumber
terorisme..
Ulama adalah manusia. Merekalah yang terutama mendapat amanah untuk melanjutkan
risalah kenabian. Banyak dari mereka yang telah melahirkan karya-karya besar. Bisa
jadi, sebagian pendapat mereka keliru. Tetapi, kekeliruan pada sebagian pendapat
mereka itu jangan sampai menafikan seluruh karya dan jasa besar mereka kepada umat
Islam. Generasi saat ini perlu bersikap lebih terbuka dan serius menggali khazanah
pemikiran Islam, warisan para ulama, yang sangat kaya. Ketepatan dan kearifan dalam
melihat masa lalu dan masa depan, Insya Allah akan menjadi modal kuat dalam
kebangkitan umat Islam di masa depan. 
Ikhtisar
- Gambaran tentang Al Ghazali di dunia pendidikan di Indonesia saat ini mengalami
distorsi.
- Sebagian referensi lembaga pendidikan menggambarkan Al Ghazali sebagai
penghambat perkembangan umat Islam.
- Padahal, karya dan pemikiran Al Ghazali sangatlah menginspirasi kemajuan umat
Islam.
- Boleh jadi pada sebagian pemikiran Al Ghazali terdapat kekeliruan, namun tidaklah
adil jika hal itu kemudian menjadi dasar untuk menyudutkan Al Ghazali..
Oleh: Adian Husaini
Sarjana Kedokteran Hewan IPB
Sumber: http://republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16
Tidak ada Komentar »
32
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
17 Desember, 2007
- HAR -
Bahaya Liberalisasi Islam
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 8:30 am 
Memperhatikan tema-tema yang disajikan pada perhelatan Annual Conference on
Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang dilaksanakan di Pekanbaru pada 21-24
November lalu, seperti yang disebutkan Henri Sholahuddin di koran ini (01/12/2007),
terlihat indikasi kuat gencarnya gerakan liberalisasi Islam. Kehadiran Nasr Hamid Abu
Zayd dalam acara tersebut memperkuat Indikasi tersebut. Kita telah ketahui bersama
bahwa gerakan kritik teks suci, kritik syariah agama, dan gerakan liberalisasi lahir dari
kebudayaan Barat. Gerakan ini bertujuan untuk menemukan kehidupan yang lebih maju
dan lebih baik, karena mereka merasa bahwa dalam agama mereka banyak hal yang
bertentangan dengan fitrah manusia dan ilmu pengetahuan. 
Begitu pun teks suci, dalam pandangan mereka banyak yang bertentangan satu sama
lain. Lalu apa yang menjadi alasan umat Islam ikut-ikutan mengritik teks suci Alquran,
Al Hadis, mempertanyakan kembali konsep tafsir Alquran atau malah mendekontruksi
ajaran-ajaran Islam yang telah mapan dan dipegang teguh oleh umat Islam selama
berabad-abad? Mengapa kita tidak melihat apa dampak gerakan liberalisasi terhadap
eberagamaan masyarakat Barat dan bagaimana bahaya yang ditimbulkan jika hal ini
dilakukan dalam ajaran Islam?
Keberagamaan di Barat
Ketika pihak gereja memimpin Eropa selama berabad-abad, keadaan Eropa waktu itu
mengalami keterpurukan yang lebih dikenal dengan
dark age. Lalu sejak abad ke-15
banyak kritik terhadap kekangan gereja. Bangsa Eropa mulai sadar bahwa banyak
kerancuan dalam ajaran gereja. Dari mulai konsep akidah, kitab suci, juga ajarannya,
banyak yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan alam.
Di antara yang berani menghadirkan kritik itu adalah pendeta Nicolaus Copernicus
(1543 M) mencetuskan teori heliosentris. Teori tersebut menentang kebijakan gereja
yang selama ini mempunyai paham filsafat Ptolemaeus yang mengatakan bahwa bumi
sebagai pusat tata surya. Perjuangan Copernicus diikuti oleh Gardano Bruno (1594),
fisikiawan Jerman Johannes Kapler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642), dan
pada Tahun 1642 bertepatan dengan meninggalnya Galileo lahirlah ilmuan baru Isaac
Newton. 
Dia adalah seorang penemu teori gravitasi bumi, sehingga dengan penemuanya dia
berhasil mendobrak kerancuan berpikir gereja serta mengubah world view
 baru bagi
Eropa dalam memahami agama. Newton bukan saja mengritik gereja dalam masalah
sains akan tetapi dia juga mengkritik paham trinitas. Pada tahun 1670 M dia
mengumumkan bahwa ajaran trinitas dibawa oleh Athanasius untuk mencari muka
orang-orang pagan yang baru masuk agama Kristen sekaligus Athanius sendiri yang
memberikan tambahan-tanbahan terhadap Injil (Karen amstrong:2004). 
Kritik terhadap gereja diusung pula oleh John Lock (1704 M) dengan mencetuskan
liberalisme dalam politik, di mana dia membentuk ideologi baru yang memberikan
kebebasan masyarakat dari kekangan pemerintahan gereja pada masa itu. Adam Smith
(1790 M) mengusung liberalisme dalam ekonomi, yang memberikan kebebasan kepada
masyarakat untuk menjalankan perekonomiannya tanpa intervensi dari pemerintahan
gereja.
33
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terbagi menjadi dua aliran dalam
menyikapi Agama. Pertama
, Aliran Deisme, di mana aliran ini masih mempercayai akan
adanya Tuhan tapi tidak mempercayai akan ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara
lain, Rene Decrates (1596-1650 M), Martin Luther(1483-1556 M), Huldrych Zwingli
(1483-1556 M), John Calvin (1509-1564 M), Isaac Newton (1642-1724 M), John Lock
(1632-1704), Immanuel Khan (1724-1804 M), dan sebagainya.
Aliran kedua adalah ateisme atau materialisme. Tokoh yang pertama meluncurkan
gagasan ini adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831 M) dan muridnya
Ludwig Feuerbach (1804-1872 M). Selanjutnya Karl Marx (1818-1883 M), menulis
dalam buku
Economic and Philosophical Manuscript, bahwa agama merupakan gejala
masyarakat yang sakit. Agama adalah candu masyarakat yang bisa menerima sistem
sosial yang rusak. Agama menghilangkan keinginan untuk menemukan obat dengan
mengalihkan perhatian dari dunia ini kepada akhirat.
Ketidakpercayaan atas Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M), dalam
buku kontroversialnya The Origin of Species by Means Natural Selection
 (1859).
Dengan teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam
penciptaan alam dan kehidupan mahluk hidup di dunia ini. Ateisme berpuncak pada
deklarasi kematian Tuhan pada tahun 1882 oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900 M)
melalui bukunya
The Gay Science. Dengan jelas kita bisa lihat bahwa gerakan
liberalisasi yang selama ini diusung oleh Barat adalah untuk keluar dari kekangan ajaran
yang bermasalah, dan konsekuensi dari gerakan ini adalah mengantarkan bangsa Barat
menjadi ateis atau sedikitnya mereka mempercayai Tuhan tapi tidak dengan ajaran-Nya
(deisme).
Bahaya liberalisasi Islam
Agama Islam lahir ke dunia membawa konsep ajaran yang mapan dan sempurna. 
Konsep akidah, kitab suci dan syariahnya tidak ada yang bertentangan dengan fitrah
manusia juga ilmu pengetahuan. Sehingga dengan kesempurnaannya itu Islam sejak
lahir langsung bisa menjadi solusi bagi kebudayaan jahiliyah bangsa Arab.
Selanjutnya, dengan memegang teguh ajaran yang termaktub dalam Alquran dan Al
Hadis, umat Islam bisa mencapai zaman kegemilangan selama berabad-abad dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa harus meninggalkan esensi ajarannya.
Agama Islam mempunyai pengalaman dan esensi ajaran yang berbeda dengan agama
Barat. Adalah suatu yang tidak adil dan tidak masuk akal mensejajarkan Islam dengan
pengalaman keberagamaan Barat, sehingga Islam harus menerima proyek liberalisasi
seperti halnya yang terjadi di Barat. Perlu diingat bahwa gerakan liberalisasi Barat
telah mengantarkan mereka menjadi seorang yang ateis atau deisme. Jadi tidak
menutup kemungkinan jika dampak dari liberalisasi Islam pun mempunyai dampak yang
sama seperti Barat.
Oleh : Rifqi Fauzi Mahasiswa Jurusan Hadis, Universitas Al Azhar Kairo, Mesir
Sumber: http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=317041&kat_id=16
Tidak ada Komentar »
- HAR -
34
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
26 September, 2007
TRADISI ”INTELEKTUAL” DI DUNIA BARAT DAN ISLAM
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 8:49 pm 
Kuala Lumpur, hari ke-23 bulan September 2007. Jarum jam menunjukkan pukul
4.30 pm. Sebuah diskusi santai dan bermuatan berat sedang digelar. Suasana
nampak sejuk, manakala hujan menyelesaikan gerimis terakhirnya dan para peserta
mulai bergerak dari ruang teduhnya masing-masing. Tak ketinggalan Dr. Adi Setia,
Khalif Muammar, MA., Malki Abd. Natsir, MA., Nirwan Syafrin, MA., dan beberapa
senior INSISTS ikut menikmati ramuan ilmiah sang pemateri, Dr. Syamsuddin Arif,
seorang yang sempat singgah di Frankfurt, Jerman, untuk menempuh program doktor
keduanya. Diskusi ini megambil topik “Intelektual dan Intelektualisme: perspektif Barat
dan Islam”. Slide yang sudah dihidangkan menambah semakin renyahnya pemateri
mengurai lembar demi lembar khazanah keilmuannya. Peserta pun nampak antusias dan
takjub manakala fakta-fakta sejarah mengemuka dengan detailnya, disertai ide-ide
cemerlang mengelaborasi “intelektual” dan “intelektualisme” dengan framework
(islamic worldview) yang
disiapkan untuk membedahnya.
Intelektual Barat
Uraian tentang fakta-fakta sejarah tentang citra buruk “intelektual” mengawali
presentasi pemateri. Katanya, pada tahun 1898, seorang perwira berpangkat kapten
‘keturunan Yahudi dipecat dari dinas ketentaraan Perancis karena dicurigai
bekerja sebagai mata-mata pihak asing’. Namanya Albert Dreyfus. Kasus Dreyfus
inilah kemudian menjadikan masyarakat Prancis terbelah dua; yang membela dan
yang mengutuk. Yang mengutuk Dreyfus disebut oleh yang pertama sebagai
anti-semit atau rasis dan pembela Dreyfus disebut sebagai les intellectuels dan
déracinés oleh yang kedua. Diantara pembelanya seperti Emile Zola (1840-1902),
Emile Durkheim (1858-1917) dan Anatole France (1844-1924), sedang yang mengutuk
adalah seperti Maurice Barrés (1862-1923) dan Fedinand Brunetiére.
Nah, dari kasus inilah kemudian sebutan intelektual lebih merupakan pemburukan
dari pada sanjungan, yang berlaku tidak hanya di Perancis, tapi juga di Inggris
dan Amerika. Oleh karenanya pemateri mencibir fakta-fakta sejarahnya, mulai dari
Perancis, Inggris, Jerman, bahkan Rusia.
Ada beberapa teori intelektual yang dikemukakan pemateri. Ia memulai dengan
teori intelektual ala Julien Benda (1867-1956). Lewat buku monumentalnya, La
Trahison Des Clercs (1927), Benda memberi beberapa catatan tentang intelektual.
Diantaranya, seorang intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun
dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan
kepentingan sesaat, berani keluar dari sarangnya untuk memprotes ketidakadilan
dan menyuarakan kebenaran, walau mahal resikonya, dan oleh itu ia tidak takut
penjara atau hidup susah. Singkatnya, sosok-sosok semacam Socrates, Yesus, dan
Spinoza adalah profil yang sangat pas bagi Benda.
Kalau teori Benda terlihat sangat elitis, mengawang-awang, sebagaimana Edward
Said (1935-2003) dan Ernest Gellner (1925-1995) mengkritiknya, maka lain halnya
dengan seorang sosiolog Régis Debray yang lebih praktis dan dinamis. Ia membagi
tiga generasi intekletual. Pertama, 1900-1930, terdiri dari para pengajar
(teachers) yang membela Dreyfus, seperti Émile Zola, Émile Durkheim dan Anatole
France. Kedua, 1930-1960, diwakili oleh para penulis (writers; novelist,
essayist). Ketiga, dari tahun 1960-sekarang, mereka yang disebut sebagai
“Cendekiawan Selebritis”, yang suka tampil di media massa, yang punya pesona,
sensasional dan ingin terkenal dan mengabaikan standar keilmuan dan kejujuran.
35
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Seorang Jean Francois Sirinelli pun merasakan fenomena generasi ketiga ini,
seraya ia berteriak lantang, “Faut-il sonner le glas des intellectuals?”, atau
“Apakah intelektual kini sudah tiba ajalnya?”
Lain lagi dengan pandangan Antonio Gramsci (1891-1937), yang membagi
intelektual menjadi dua macam; intelektual “tradisional” dan intelektual
“organik”. Intelektual yang pertama adalah mereka para tokoh agama, guru/dosen,
birokrat, dan seperti mereka inilah profil intelektual yang tidak membumi, hidup
dalam ilusi dan utopia. Sedangkan yang kedua adalah intelektual yang aktif,
tidak pernah diam, senantiasa berbuat sesuatu untuk masyarakatnya. Di sini
pemateri meminjam ungkapan Edward Said “always on the move, on the make”.
Karena intelektual di Barat tidak bisa lepas dari istilah intelligentsia, maka
pemateri mengajak kroscek ke negara asal pemproduksi istilah ini. Ternyata ia
berasal dari Polandia dan Russia. Di Polandia, ‘inteligentsia’ adalah para
lulusan sekolah, minimal sekolah menengah, dan yang mengerti sejarah Polandia.
Mereka ini yang disebut mature (dewasa), lebih layak memimpin dan mengelola
negara ketimbang kaum borjuis yang tidak punya idealisme dan suka korupsi.
Sementara di Russia, intelligentsia adalah orang-orang bangsawan yang
mengambil jarak dari kaum borjuis kapitalis dan merasa terpanggil untuk
memanggil bangsa. Kelompok inilah yang kemudian dijuluki ‘slavophile’ karena
merekalah yang menuntut penghapusan feodalisme dan tsarisme, menghendaki
perombakan total sistem politik, ekonomi dan sosial. Kelompok ini sempat eksis
setelah Tsar digulingkan pada revolusi Oktober 1917, setelah kemudian ditumpas
habis oleh Stalin.
Sedangkan di Inggris dan Amerika, istilah intelektual mempunyai konotasi
negatif. Bagi masyarakat Inggris, intelektual itu sebutan bagi orang-orang yang
irrasional, egois, ‘sok pintar’. Bahkan seorang sekretaris luar negeri di masa
PM Margaret Thatcher, Sir Geoffrey Howe, menyifati Salman Rushdie (penulis buku
“ayat-ayat setan”) sebagai ‘arrogant’, ‘a dangerous opportunist’, dan ‘a
multiple renegade’. Lebih jauh lagi, Paul Johnson, lewat karyanya Intellectuals
(1988), mengutuk kalangan inteletual dengan menyatakan, “no wises as mentors, or
worthier as exemplars, than the witch doctors or priest of old” atau ‘tak layak
jadi teladan.’
Melihat akar sejarahnya, maka pemateri memberikan beberapa karakter penting
intelektual di Barat. Yakni: non-committal, tak terikat dari segi ide;
independent, tak terikat dari segi aksi; non-sectarian, untuk semua golongan;
non-partisan, tidak memihak; non-conformis, pantang menyerah; rebellion,
cenderung memberontak; oppositional, menentang arus; dan dissident, berani
berbeda; resistent, menunjukkan perlawanan. Bagaimana dengan intelektual di
dalam Islam?.
Intelektual Islam
Istilah “intelektual” dikenal baru-baru ini saja di dunia Islam, menurut
pemateri. Nah inilah istilah impor dari peradaban lain, seperti halnya
“falsafah”. Oleh karena itu mesin worldview Islam bermain di sini. Istilah ini,
“intelektual”, dengan konteks masyarakat Barat yang sudah disebut di atas,
tidak boleh dipindah begitu saja ke dalam Islam. Itu tidak bisa. Selama ini,
cendekiawan-cendekiawan muslim di Indonesia sangat memaksakan penggunaan istilah
itu dengan segala motifnya. Sebagai contoh, ketika muncul kasus Ahmadiyah,
tampillah pembela ahmadiyah atas nama kaum intelektual dan membela atas nama
HAM. Nah itu baru contoh kecil penggunaan istilah itu yang sangat dipaksakan.
Contoh lainnya, ketika kalangan modernis atau liberalis dengan lantangnya
menggugat otoritas Al-Quran, Hadits, ulama, dll. mereka mengatasnamakan
36
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
intelektual. Nah itu sikap yang sangat Barat dan tidak bijak serta terburu-buru
menggunakan istilah asing.
Kalau diperhatikan, ada makna universal dalam istilah intelektual, seperti
‘memperjuangkan keadilan dan kebenaran’, ‘pendirian kuat’, ‘tidak mudah terbawa
arus’, dll. Makna universal ini ada di mana-mana, tidak saja di Barat.
Masalahnya adalah ketika makna universal diterapkan ke dalam partikular. Seperti
menentang arus dalam konteks di dunia Kristen tidak akan sama kasusnya dengan
menentang arus dalam konteks di dunia Islam. Membela kebenaran dalam konteks
dunia Barat tidak sama dengan membela kebenaran dalam konteks dunia Islam.
Dengan demikian, dengan melepaskan makna partikulernya dan mengambil makna
unversalnya, maka pemateri mengajak melihat makna-makna universal itu dalam
Islam. Ternyata, kata pemateri, cendekiawan dan intelektual sejati itu dalam
Islam adalah para Nabi dan penerusnya, waratsat al-Ambiya’ (pewaris para nabi)
dan penerus risalah profetis.
Intelektual Profetik atau Diabolik
Intelektual dalam khazanah Islam mempunyai dua tipe, mengikut sejarah dan
konteks keislaman, yaitu (1) intelektual profetik; dan (2) intelektual diabolik.
Intelektual profetik adalah para nabi dan waratsat al-ambiya’, pewarisnya.
Merekalah para pembela kebenaran, sebagaimana kebenaran yang terkonsep dalam
al-Quran. Sedangkan cendekiawan diabolik adalah iblis dan para pengikutnya.
Kalau diamati lebih jauh, karakter Iblis sangat pas dengan ciri intelektual di
Barat. Ia tidak mau terikat dengan aturan Allah (non-committal, independent),
tidak mau menyerah (non-conformis), memberontak (rebellion), menentang arus
(oppositional), dll. yang menyatu dalam kata “takabbur”.
Contoh-contoh cendekiawan diabolik ini sangat banyak sekali dalam sejarah.
Sepeti Kan’an putra nabi Nuh yang menolak naik ke atas perahu, Haman sebagai the
intellectual in the service of tyrant, Fir’aun, Musa Samiri sebagai cendikiawan
yang membuat tuhan dari patung lembu, kaum kuffar dari ahlu kitab di zaman Nabi
Muhammad sebagai para-pakar yang kafir, dan lain sebagainya.
Sendangkan contoh cendekiawan profetik adalah seperti para nabi, sahabat,
ulama. Dari para nabi sebut saja Nabi Ibrahim yang menentang kuasa Namrudz. Nabi
Luth juga intelektual yang menentang arus kaumnya yang masyoritas lesbi dan guy.
Dari kalangan sahabat, Abu Darda’ disebut sebagai intelektual yang berani
mengatakan kebenaran dengan lantang di depan Muawiyah, penguasa waktu itu. Dari
kalangan ulama, seperti Hasan al-Basri, Imam Syafii, Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad
bin Hambal, dll, dan di Indonesi seperti HAMKA, Syeh Yusuf Al-Makasari,
Mohammad Natsir, di mana mereka berani mengeraskan suara kebenaran dan merelakan
resiko yang terus mengancam.
Dari uraian di atas, inteletual dalam Islam cukup dikenali dengan tiga
cirinya. Pertama, ia tidak ada rasa takut menyuarakan kebenaran (la khaufun
alaihim wa la hum yahzanun). Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan
pribadi, kelompok, partai dan lain-lain (la yas alukum alaihi ajran wahum
muhtadun). Ia hanya ditunggangi kepentingan misi Tuhannya. Ketiga, ia adalah
agent of change/agen perubahan, dan bukan subject of change/yang dirubah oleh
lingkungannya.
Wallahu a’lam,
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/insistnet/messages
1 Tanggapan »
37
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
1.
kenapa di indonesia sesama muslim saling menghujat dan tidak bisa 
bersama_sama? saya bingung sebagai orang awam padahal sesama muslim
adalah saudara.
Komentar oleh ujang — 29 Mei, 2008 @ 11:49 pm
6 September, 2007
- HAR -
MENGKONSTRUK WORLDVIEW BERBASIS ”TAUHID”
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 8:42 am 
Hari Ahad, (02/09) Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilization
(INSISTS), Malaysia kembali menggelar diskusinya dengan menghadirkan pakar di
bidang ”Pandangan Hidup”, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi. Seperti biasanya, diskusi
ini dihadiri oleh para dosen, mahasiswa, aktivis pergerakan, praktisi dan
pakar-pakar di berbagai bidang dari beberapa kampus di Malaysia. Hadir pula di
sana Dr. Anis Malik Thoha, Dr. Syamsuddin Arif, dan tokoh-tokoh intelektual
lainnya.
Diskusi INSISTS ini, tegas pemateri, sudah hampir 4 tahun berlangsung.
Baginya, para peserta yang nampak hadir kali ini didominasi oleh wajah-wajah
baru.
Dalam mengantarkan makalahnya, pemateri memberikan penjabaran tentang
pentingnya ”Pandangan Hidup Islam”. Ia beralasan bahwa arti, tujuan, dan nilai
hidup sangat ditentukan oleh pandangan hidup masing-masing manusia. Lalu apa itu
pandangan hidup? Di sinilah, kemudian, pemateri mengajukan beberapa definisi
oleh beberapa sarjana, antara lain pandangan hidup menurut al-Mawdudi, Atif
Al-Zayn, Sayyid Qutb, Naquib al-Attas, dan Alparslan. Dari definisi-definisi itu
kemudian pemateri memberi definisi utuhnya dengan menyatkan bahwa pandangan
hidup Islam adalah: ”Aqidah fikriyyah atau kepercayaan yang berdasarkan pada akal,
yang asasnya adalah keesaan Tuhan (tawhid/shahadah), yang terbentuk dalam pikiran
dan hati setiap Muslim dan berpengaruh terhadap pandangannya tentang keseluruhan
aspek kehidupan terutamanya tentang realitas dan kebenaran”
Sederhananya, tegasnya pula, Pandangan Hidup Islam itu adalah ”Ilmu, Iman,
’Amal”. Ia menjelaskan bahwa ilmu harus mendahului iman. Sedangkan ’amal tidak
boleh lepas dari ilmu dan iman. Kemudian ia merujuk kepada ayat, ”Fa’lam annahu
laa ilaaha illallaah” (maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain
Allah). Ayat ini diawali oleh ”ketahuilah” (dari alima-ya’lamu-ilm), baru
kemudian ”tiada tuhan selain Allah”. Singkatnya, orang harus tahu dulu sebelum
meyakini.
Lebih praktis lagi, jelas pemateri, ketika orang bersyahadat, ia harus
mengawalinya dengan penuh kesadaran. Kata asyhadu, ”aku bersaksi” adalah
menyaksikan dengan penuh kesadaran, keyakinan dan pengetahuan (cara pandang).
Cara pandang ini mempengaruhi cara manusia melihat realitas atau segala yang
wujud.
Menurutnya, definisi yang lebih teknis dan epistemologis adalah bahwa
konsep-konsep Islam, apabila dikumpulkan, merupakan cara pandang yang khas dan
38
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
itu juga menunjukkan cara kerja secara intelektual, saintifik dan spiritual,
yang bermuara kepada konsep ”Tuhan”. Dari konsep Tuhan inilah kemudian lahirlah
konsep kehidupan, konsep dunia, konsep manusia, konsep nilai, konsep ilmu dan
seterusnya.
Berbicara masalah konsep ilmu dan manusia, muncullah pendidikan; berbicara
konsep manusia dan nilai, lahirlah hukum; berbicara konsep nilai dan dunia,
lahirlah politik; berbicara konsep dunia dan kehidupan, lahirlah ekonomi; dan
berbicara konsep kehidupan dan ilmu, lahirlah ilmu dan teknologi. Kesemuanya itu
saling terkait satu dengan yang lainnya, dan bermuara kepada konsep ketuhanan.
Di sinilah, seperti yang ditegaskan oleh pemateri, konsep ”tauhid” memberikan
makna yang lebih komprehensif; tidak saja mempercayai Allah sebagai yang Esa,
tapi juga mengakui kesatuan dan keintegralan sistem yang terdapat di
tengah-tengah makhluk-Nya. Ada sistem epistemologi Islam di sana. Dengan kata
lain, percaya bahwa Allah satu belum berarti ia sudah Islami, karena belum tentu
ia juga meyakini dan mempunyai worldview yang Islami pula, atau lebih menukik
lagi epistemologinya belum tentu tauhidi.
Untuk menggambarkan bangunan filosofis worldview Islam ini, pemateri merujuk
kepada ayat yang berbunyi: alam tara kaifa dharaballahu matsalan kalimatan
thoyyibatan ka syajaratin thoyyibatin asluha tsaabitun wa far’uhaa fissamaa’
thu’thii ukulahaa kulla hiinin bi idzni rabbihaa wa yadhribullaahul amtsaala
linnaas la’allahum yatadzakkaruun. (QS?) Kata thoyyibah di sini, dalam beberapa tafsir,
adalah syahadat. Konsep syahadat ini diibaratkan sebuah pohon; akarnya kokoh,
cabangnya menjulang tinggi ke langit, memberi makanan pada setiap musim dengan izin
Tuhannya.
Inilah analogi al-Quran tentang peradaban Islam yang berkembang dari konsep
tauhid dan ilmu pengetahuan Islam yang kemudian memberi rahmat kepada
peradaban-peradaban lain yang ada di dunia. Setiap ”musim”, maksudnya ada masa
peradaban Islam mengungguli peradaban-peradaban lain dan memberi manfaat
sebesar-besarnya kepada mereka untuk berkembang. Ini menunjukkan bahwa peradaban
Islam menjadi rujukan semua peradaban di dunia. Karena dalam sejarah dunia,
peradaban-peradaban yang ada tak pernah bertemu dan bersatu, tetapi bisa bersatu di
masa peradaban Islam menguasai mereka.
Worldview Islam Menjadi Suatu Peradaban
Konsep-konsep yang turun dalam bentuk ayat-ayat al-Quran diturunkan secara
gradual. Periode pertama (periode Makkah-1) berkenaan dengan konsep tahuhid,
penciptaan, hari akhir, etika, dan tentang alam. Periode kedua (periode
Makkah-2) berkaitan dengan konsep ibadah, din, ilmu, kenabian, dll. Periode
ketiga (periode Madinah) meliputi konsep ukhuwah, ummah, jihad, daulah, dll.
Dari konsep-konsep itulah kemudian Islam membangun peradabannya. Munculnya
komunitas ahlu Suffah di madinah adalah merupakan contoh betapa para sahabat
memahami konsep-konsep itu secara mendalam, dan dari merekalah tradisi keilmuan
Islam berkembang yang kemudian membentuk peradaban unggul di masa setelahnya.
Jadi singkatnya, konsep-konsep tauhidik di atas menjadi asas bagi epistemologi
Islam. Bahkan, Prof. Al-Attas (1995) menyatakan: ”Pandangan hidup Islam itu ….bukan
sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di
dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ
dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan
aspek akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final” struktur
dan cara pandang terhadap realitas seperti inilah yang dominan dalam Islam.
39
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Membangun Epistemologi Tauhidik
Dalam menjabarkan Epistemologi Tauhidik ini, pemateri mengajak para peserta
memahami asas-asas ontologi dan kosmologi dalam Islam. Menurutnya, realitas alam
ini secara ontologis terbagi dua; pertama, alam al-mulk dan alam al-ghaib (tak
tampak) dan kedua, alam shahadah (tampak). Namun secara kosmologis, realitas itu
merupaka ayat-ayat Allah yang terdiri dari ayat-ayat al-Quran dan ayat-ayat alam
semesta. Kedua ayat ini sama-sama mengandungi ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat perlu tafsir dan yang mutasyabihat perlu tafsir
dan ta’wil. Namun ta’wil harus berdasarkan tafsir. Sehingga, menurutnya pula,
melihat realitas kosmos harus berdasar pada realitas Qurani.
Kalau dibandingkan dengan pandangan Barat terhadap realitas,
sekurang-kurangnya Barat mempunyai tiga aliran yang dominan; (a) realisme, yang
memandang secara obyektif; (b) anti-realisme yang melihat realitas secara
subyektif; dan (c) realisme kritis yang melihat realitas dengan subyektif dan
obyektif. Menurut pemateri, aliran terakhir ini mirip dengan Islam. Hanya saja,
subyektifitas orang Islam sudah terisi oleh wahyu, sedang subyektivitas Barat
hampa wahyu. Jadi dalam melihat realitas, ayat qauliyah dan kauniyah, alam ghaib
dan shahadah, fisik dan metafisik menjadi satu kesatuan.
Namun, persoalan yang dihadapi orang Islam saat ini adalah, (a) masuknya
ilmu-ilmu humaniora dan eksak ke dalam struktur epistemologi Islam, dimana cara
melihat realitas menjadi tidak tauhidi lagi, dan cenderung dikotomis; (b)
melihat sesuatu secara empiris an sich. Di sinilah rekonstruksi epistemologi
secara komprehensif diperlukan.
Untuk mengkonstuk epistemologi tauhidik, perlu sekiranya melihat epistemologi
Barat lalu membandingkannya dengan epistemologi Islam, baik dari aspek asasnya,
pendekatannya, cara memaknainya, dan objek kajiannya.
Asas epistemologi Barat berdasarkan pada rasio dan spekulasi filosofis.
Pendekatannya dikotomis. Sifatnya rasional, non-metafisis, terbuka & selalu
berubah. Dalam memaknai realitas dan kebenaran, Barat mengikut standar sosial,
kultural, empiris, dan rasional. Sedang objek kajiannya, realitas empiris dan
non-metafisis.
Sedangkan Islam, berdasarkan pada wahyu, hadith, akal, pengalaman, dan
intuisi. Pendekatannya rasional, metafisis, dan supra-rasional, ada yang
permanen ada yang berubah. Makna realitas dan kebenaran, al-Haqq dan al-Haqiqah,
berdimensi metafisik dan fisik, rasional. Objek kajiannya, invisible dan visible
atau ‘Âlam al-Mulk & ‘Âlam al-Syahâdah.
Pandangan Hidup Islam Sebagai Framework Studi Filsafat Islam
Sebelum melanjutkan pemaparannya tentang Worldview Islam dalam studi filsafat
Islam, pemateri lebih dahulu memberi beberapa contoh pandangan Barat melihat
studi filsafat dalam Islam. Tokoh-tokoh filosof yang disebut pemateri antara
lain Henry Corbin (1903-1978), Michael E. Marmura, dan Abdelhamid I. Sabra.
Ketiga-tiganya menyatakan bahwa Islam tidak mempunyai “kreasi filsafat yang
original”.
Problem-problem yang dating dari orientalis lainnya tidak kalah pentingnya
untuk diperhatikan. Seperti, bahwa filsafat Islam adalah melulu hasil
terjemahan. Yang demikian itu tidak logis, sebab orang Kristen Syriac saja juga
mampu melakukannya, tapi sains hanya dapat dikembangkan orang Islam. Artinya,
orang Islam tidak sekedar melakukan translasi, tapi juga editing, mengoreksi,
dan adaptasi.
40
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Contoh lain, pemikiran yang rasional dalam Islam dianggap berasal dari Yunani.
Itu tidak betul, sebab al-Qur’an kaya dengan aspek-aspek ilmu dan perintah
menggunakan akal. Sedangkan dipihak lain, orang Kristen tidak berani
menterjemahkan Organon Aristotle, karena takut membahayakan teologi mereka yang
tidak rasional.
Lalu bagaimana worldview Islam dalam filsafat Islam?
Pemateri berpendapat, bahwa filsafat Islam itu merupakan salah satu cabang
pengetahuan dalam peradaban Islam yang berakar pada konsep-konsep seminal
(seminal concepts) dalam al-Qur’an dan hadith, bukan Yunani. Konsep seminal
dalam al-Qur’an dikembangkan menjadi struktur konsep keilmuan (scientific
conceptual scheme) dan menghasilkan istilah-istilah keilmuan (scientific
terminology), dalam berbagai bidang. Struktur konsep itu adalah worldview.
Framework kajian filsafat Islam dimulai dari pengertian filsafat Islam dan
sejarah konsepnya dan tidak terbatas pada filosof Muslim Aristotelian. Kajian
filsafat Islam mencakup kajian al-Qur’an, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.
Filosof Muslim pertama bukanlah al-Kindi, sebagaimana yang diisukan orang Barat,
tapi para mutakallimun atau mungkin fuqaha. Pemikiran spekulatif dalam filsafat
Islam berasaskan ta’wil yang merujuk kepada tafsir realitas fisik dan metafisik.
Pemikiran dalam filsafat Islam adalah kesatuan dari tafsir dan ta’wil ayat-ayat qauliyah
dan kauniyah. Sedangkan tujuan kajian filsafat dalam Islam meliputi: (a) memberi
kemampuan kepada mahasiswa untuk memahami konsep-konsep penting dalam
pemikiran Islam; (b) memberikan kecakapan kepada mahasiswa untuk merujuk konsepkonsep
penting filsafat Islam dan mengkaitkannya dengan konsep-konsep seminal dalam
al-Qur’an
dan Hadith; dan (c) meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk menjelaskan
konsep-konsep
tersebut
dalam konteks
pemikiran kontemporer.
Catatan Akhir
- Jika pandangan hidup adalah suatu bangunan konsep-konsep, maka
pemahaman konsep secara filosofis menjadi sistim filsafat, dan jika dipahami
secara saintifik ia menjadi sains
- Oleh karena itu, memahami filsafat Islam dari pandangan hidup Islam
berarti memahaminya dengan pendekatan sistemik (systemic approach).
- Sebagai sebuah sistem, filsafat Islam dapat digunakan untuk memahami
dan bahkan mengkritik sistem-sitem filsafat lain seperti filsafat Barat dan juga
mengadapsi konsep-konsep asing kedalam millieu filsafat dan pemikiran Islam.
***
(A.R. Dimyati, INSISTS Malaysia)
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/insistnet/message/8205
Tidak ada Komentar »
- HAR -
41
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
5 September, 2007
Ke Arah Rekonstruksi Historiografi Islam Klasik
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 9:30 am 
Untuk mengkaji persoalan historiografi Islam klasik, penulis
membatasi masa kajian dari masa awal Nabi Muhammad s.aw. sampai
masa Abbasiyah sebagai batasan Islam klasik. Tetapi sebagai kajian
sejarah, latar belakang masyarakat pre Islam (Jahiliyah) dalam
kaitannya dengan kemunculan dan perkembangan historiografi Islam
klasik menjadi bahasan tersendiri karena sifat kajian sejarah yang
memanjang dalam waktu. Fokus kajian historiografi Islam klasik di
sini membahas tiga karya historiografi Islam klasik; Sirah al-Nabi
karya Ibn Ibn Ishaq, al-Maghazi karya al-Wakidi dan Tarikh al-Umam
wa al-Muluk atau Tarikh al-Tabari karya al-Tabari, sebagai
representasi karya-karya sejarah Islam klasik yang memiliki kaitan
dengan persoalan historiografi Islam klasik. Di samping itu, fokus
kajian juga diarahkan pada karya-karya sejarawan Muslim modern,
sepertiHasan Ibrahim Hasan dan Muhammad Husain Haikal dan beberapa
karya orientalis, seperti H.A.R. Gibb dan William Montgomery Watt
dan yang lainnya, (Margoliouth, Muir, Wellhausen) yang menulis
tentang sejarah Islam klasik sebagai perbandingan dan kaitan
pengaruh karya kesejarahan tersebut.
Ada dua persoalan yang menjadi fokus utama dalam kajian
historiografi Islam klasik, yaitu persoalan materi (kandungan isi)
bahasan dan metodologi. Yang pertama berkaitan dengan dua persoalan
yang saling berkaitan; persoalan politik oriented yang kemudian
memunculkan sejarah politik dan materialisme sejarah. Sedangkan yang
kedua berkaitan dengan penggunaan periwayatan (hadith), hauliyat
(sejarah berdasarkan tahun) sebagai metode dalam penulisan
histoiografi Islam klasik.
Sejarah yang berorientasikan politik (sejarah politik) memiliki
latar belakang kesejarahan dan hubungan kontinyuitas yang saling
berkaitan antara aspek konseptual, sumber-sumber kesejarahan, para
sejarawan awal Islam, jiwa zaman dan pandangan dunia akhir abad ke-1
H. sampai akhir abad ke-3 H. yang ditandai oleh peran sentral dan
dominasi kerajaan Islam klasik (Kerajaan Umayyah dan Abbasiyah).
Keseluruhan aspek ini memiliki hubungan timbal balik dan pengaruhmempengaruhi
terhadap kemunculan dan perkembangan historiografi
Islam
klasik yang
politik
oriented .
Secara konseptual, konsep sejarah Islam klasik yang dibangun oleh
para sejarawan awal Islam mengacu kepada pandangan bangsa Arab pre
Islam (Jahiliyah) tentang sejarah sebagai suatu peristiwa penting,
elitis dan politik. Konsep ini melestarikan corak penulisan sejarah
awal Islam yang sarat dengan tema-tema politik, sehingga penulisan
sejarah politik menjadi main stream dalam karya-karya kesejarahan
awal Islam. Dari sisi sumber rujukan pula, ternyata sumber-sumber
primer yang menjadi rujukan utama para sejarawan awal Islam dalam
penulisan karya sejarah mereka mayoritasnya berasal dari dokumendokumen
politik. Para sejarawan awal Islam, seperti Ibn Ishaq, al
Wakidi
dan al Tabari selain terpengaruh oleh konsep dan sumbersumber
kesejarahan Islam yang berasal dari dokumen dokumen politik,
42
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
pada saat yang sama mereka memiliki hubungan timbal balik dengan
kerajaan/raja (Bani Umayyah dan Abbasiyah) dan terpengaruh pula oleh
pandangan dunia dan mazhabnya. Hubungan timbal balik antara kerajaan
dan para sejarawan itu terdapat dalam hubungan yang saling
memerlukan di antara kerajaan atau raja dan sejarawan, pengaruh
kerajaan atau raja terhadap sejarawan dan corak penulisan sejarah
yang berpusat pada kerajaan. Sedangkan hubungan timbal balik antara
sejarawan dan pandangan dunianya ialah keterlibatan teologi (mazhab
keagamaan) dan pengaruhnya terhadap karya sejarawan tersebut.
Kesemua hubungan ini memberikan kontribusi pula terhadap corak
penulisan sejarah Islam klasik yang politik oriented, sehingga frame
work dalam penulisan sejarah Islam klasik tidak pernah lepas dari
main stream sejarah politik.
Pembahasan sejarah awal Islam yang melulu politik oriented ini
memunculkan persoalan materialisme sejarah, karena peristiwaperistiwa
kesejarahan awal Islam yang bertemakan sejarah politik
seperti
peperangan-peperangan,
(al-maghazi), pembukaan/perluasan
wilayah
(al-futuhat)
, peristiwa thaqifah, al-fitnah al-kubra
(Perang
Jamal dan Perang Shiffin), dan al-khilafah, yang
semuanya
menjadi
tema sentral dalam historiografi Islam klasik hanya
dipaparkan
dari
aspek peristiwa
per peristiwa secara lahirnya
saja,
tanpa
menjelaskan motif utama, arah tujuan, maksud dan makna dari
peristiwa-peristiwa
tersebut, sehingga peristiwa-peristiwa seperti
peperangan
dan perluasan wilayah menjadi bagian dari persoalan
materialisme
sejarah.
Tetapi persoalan yang paling utama dalam kaitannya dengan
materialisme sejarah ini justeru terdapat dalam karya mayoritas
orientalis seperti H.A.R. Gibb, D.S. Margoliouth, W. Montgomery
Watt, William Muir dan yang lainnya yang mengkaji dan menulis karya
historiografi Islam klasik. Karya-karya mereka selain sarat dengan
bahasan yang politik oriented dan materialisme sejarah, juga sarat
dengan bias teologi, ideologi (Marxism) dan tafsir (interpretasi)
dalam memahami sejarah awal Islam, khususnya dalam bahasan-bahasan
tentang sejarah dan biografi Nabi Muhammad s.a.w. (Sirah al-Nabi),
meskipun kajian mereka cukup analitis.
Sejarawan Muslim yang datang kemudian, seperti Muhammad Husain
Haikal, sungguhpun telah melakukan kritik terhadap karya-karya
sejarah orientalis dan interpretasi sejarah, tetapi pada saat yang
sama beliau terjebak pula dalam penulisan sejarah yang politik
oriented dan penafsiran sejarah yang berlebihan dan karenanya
menjadi bias pula. Hasan Ibrahim Hasan, sejarawan Muslim modern yang
lain, walaupun menulis karya sejarah awal Islam dari berbagai
aspeknya (politik, agama, budaya dan sosial), tapi persoalan
penulisan sejarah politik dalam karya beliau lebih kompleks lagi,
karena di samping banyak menukil sumber sejarah dari al-Ya’qubi
(Tarikh al-Ya’qubi) yang bermazhab Shi’ah dan anti Muawiyah (Krajaan
Bani Umayyah), beliau banyak pula terpengaruh oleh karya orientalis
Nicholson yang memiliki pandangan bias politik termasuk terhadap
Kerajaan Bani Umayyah.
Secara metodologis, penggunaan metode periwayatan (hadith) oleh para
sejarawan Islam klasik-seperti Ibn Ishaq, al-Wakidi dan al-Tabari
di satu sisi memang telah memberikan peranan terhadap kemunculan dan
43
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
perkembangan historiografi Islam klasik. Namun di sisi lain ianya
juga meninggalkan persoalan, karena mereka hanya meriwayatkan,
menukil dan menyampaikan ceritera, berita dan peristiwa yang
diriwayatkan oleh para perawi dan pengkisah kepada perawi yang
lainnya, sehingga fokus mereka ialah terbatas pada bagaimana cerita
dan peristiwa yang diriwayatkan dan dikisahkan itu sampai kepada
sejarawan, tanpa memperhatikan kandungan isi (materi) yang
diriwayatkan itu dan bagaimana ia dapat dipahami dengan melibatkan
konteks dan pemahaman yang utuh terhadap peristiwa dan berita
tersebut. Dengan perkataan lain, metod periwayatan (hadith) yang
digunakan oleh para sejarawan awal Islam baru memaknai sejarah dalam
pengertian-meminjam istilah Ibn Khaldun-lahir saja, yaitu rentetan
peristiwa dan cerita yang diriwayatkan oleh para perawi, belum
sampai kepada makna sejarah dalam pengerian yang batinnya yang
mencakup makna hakikat dari peristiwa tersebut yang melibatkan
perangkat analisis, pentafsiran dan filsafat sejarah. Dalam kaitan
ini pula metode periwayatan (hadith) telah menjadi alat bantu untuk
memperkuat main stream sejarah politik dalam konteks historiografi
Islam klasik karena hilangnya pemahaman yang utuh dan konteks dalam
memahami sejarah.
Untuk memahami peristiwa-peristiwa sejarah awal Islam yang sarat
dengan politik oriented (sejarah politik) dan materialisme sejarah
secara utuh, penulis memberikan tawaran alternatif beberapa konsep
dan perangkat analisis historiografis dari Ibn Khaldun tentang
konsep peradaban dan penggunaan pendekatan pelbagai ilmu sosial
budaya (`ilm al-umran), yang kemudian dikembangkan oleh Barat dengan
pendekatan multidimensional dalam memahami sejarah, konsep
spiritualitas sejarah Islam dari Prof. Masadul Hasan, konsep tentang
konteks dari Berkhofer dan konsep kesepaduan dalam sejarah.
Dari beberapa konsep ini penulis mengemukan sebuah tesis bahwa
sejarah Islam klasik adalah sejarah peradaban dan peradaban Islam
ialah peradaban spiritual yang dibangun oleh asas dan sendi-sendi
Tauhid-meskipun dalam perkembangannya berwujud material. Oleh karena
itu penulisan sejarah Islam klasik mesti melibatkan aspek spiritual
yang menjiwai gerak dan proses peradaban, menggunakan pendekatan
multidimensional dan pemahaman terhadap konteksnya. Dengan konsep
sejarah peradaban peristiwa-peristiwa kesejarahan Islam klasik yang
yang sarat dengan bahasan sejarah politik mesti diletakkan dalam
konteks proses peradaban tersebut. Dari sinilah rekonstruksi
historiografi Islam klasik dibangun dan dikembangkan.
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/insistnet/message/8193
Tidak ada Komentar »
- HAR -
44
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
28 Agustus, 2007
IDEOLOGI ISLAM KEBANGSAAN VERSUS
IDEOLOGI ISLAM TRANSNASIONAL*
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 9:01 am 
A.  Pengertian
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia akhir-akhir ini ditandai dengan
bipolarisasi yang cukup tajam antara kalangan Ideologi Islam Kebangsaan dan
Ideologi Islam Transnasional. Ideologi Islam Kebangsaan yang penulis maksudkan
di sini adalah Organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang mengakui keberadaan
dan menjaga keutuhan NKRI, serta memperjuangkan diterapkannya syariat Islam
dalam kerangka Negara-Bangsa (Nation State) Indonesia. Sementara Ideologi Islam
Transnasional adalah kelompok Islam yang berkeyakinan bahwa Islam merupakan
ajaran Universal menembus/menegasi batas-batas ruang dan negara, sehingga perlu
adanya “satu kepemimpinan Islam” bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Paham pertama, diwakili oleh 2 ormas Islam besar yaitu NU dan Muhammadiyah.
Sedangkan yang mewakili paham kedua antara lain Hitbut Tahrir Indonesia,
Ikhwanul Muslimin (PKS) dan Salafi.
B.  Sejarah NU, Muhammadiyah, HTI, PKS dan Salafi Di Indonesia
1.   Sejarah NU
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa
Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan
Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke manamana–setelah
rakyat
pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya
dengan
bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan
dan
pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon
Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan
Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di
Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun praIslam,
yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum
wahabi
tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di
Indonesia,
baik

kalangan
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII
di
bahwah
pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang

selama
ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran
warisan peradaban tersebut.
45
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al
Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan
sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta
peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa
membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh
KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan
tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan
niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan
madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren
pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc,
maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk
organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab
1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi
Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab
I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
2. Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad
Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan
Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan
ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalanamalan
yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya
untuk
mengajak mereka kembali
kepada
ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena
itu
beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya di
tengah kesibukannya
sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya
mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang
sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya
menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau
Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan
Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga
memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut
“Sidratul Muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan
perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan
anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918
beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan
Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya
menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki 
46
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi
Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama
‘Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan
serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922
dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada
rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang
kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri
kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian
hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar
5 tahunan.
3.   Sejarah HTI
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina.
Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia
untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah
Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni
Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.
Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah,
termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris,
Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke
Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia,
Indonesia, dan Australia.
HT masuk ke Indonesia melalui orang Libanon. Namanya Abdurrahman AlBaghdadi.
Ia bermukim di Jakarta pada tahun 80-an. Kemudian juga dibawa Mustofa
bin
Abdullah bin Nuh. Inilah yang mendidik tokoh-tokoh HTI di Indonesia seperti
Ismail
Yusanto,tokoh-tokoh Hizbut Tahrir sekarang. Tapi
sebenarnya diantara
mereka
ada friksi. Karena tokoh-tokoh HTI yang
sekarang merasa
dilangkahi
oleh

Ismail
Yusanto.
Hizbut
Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di
kampus-kampus
besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut
Tahrir
merambah ke masyarakat,
melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid,
perkantoran,
perusahaan, dan perumahan
Di
Indonesia HTI terus terang menganggap Pancasila jahiliah. Nasionalisme bagi
mereka
jahiliah. Tapi reformasi memberi angin kepadakelompok-kelompok ini

sehingga
dibiarkan saja. Dan tidak ada dialog. HTI memanfaatkan institusi (seolaholah)
“mendukung” pemerintah untuk mempengaruhi MUI (Majelis Ulama
Indonesia).
Tapi mereka taqiah (menyembunyikan agenda perjuangan aslinya),

sebab
mereka menganggap Indonesia itu sebenarnya
jahiliah.
Taqiah itu ideologi
Syiah
tapi dipakai oleh HTI
4. Sejarah IM (PKS)
Ikhwanul Muslimin pusatnya di Ismailiah, Mesir. Organisasi ini berdiri pada 1928.
Pendiri Ikhwanul Muslimin Syaikh Hasan Al-Banna. Syaikh Hasan Al-Banna ini
moderat. Dia berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul
kelompok tradisional dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi
oleh Muhammad Abduh. Syaikh Al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin
itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah, jadi diakomodasi semua, sehingga
ikhwanul muslimin menjadi besar.
47
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Dalam Ikhwanul Muslimin ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Yaitu institusi
jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada
dalam Tandhimul Jihad ini dilatih militer betul, doktrinnya pakai kesetiaan seperti
tarikat kepada mursyid. Ini dibawah komando langsung Ikhwanul Muslimin. Para
militer atau milisi ini menarik kelompok-kelompoksekuler yang ingin belajar tentang
disiplin militer. Gammal Nasser, dan Anwar Sadat, juga belajar pada Tandhimul
Jihad ini.
Partai Keadilan Sejahtera (PK-Sejahtera) merupakan pelanjut perjuangan Partai
Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi DPR, 26
kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota/Kabupaten).
PK-Sejahtera percaya bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di
masa depan adalah dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara
moral, intelektual, dan profesional. Karena itu, PK-Sejahtera sangat peduli dengan
perbaikan-perbaikan ke arah terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera.
Kepedulian inilah yang menapaki setiap jejak langkah dan aktivitas partai. Dari
sebuah entitas yang belum dikenal sama sekali dalam jagat perpolitikan Indonesia
hingga dikenal dan eksis sampai saat ini.
IM masuk ke Indonesia melalui mahasiswa yang belajar di Mesir. IM di Indonesia
bergerak lewat mahasiswanya yang dinamakan usrah (keluarga). Usrah ini minimal 7
orang, dan maksimal 10 orang. Masing-masing usrah ada amirnya dan amir inilah
yang bertanggungjawab terhadap kelompok. Bagaimana mengatasi kebutuhan
kehidupan sehari-hari terpenuhi, misalnya kalau ada anggota yang kesulitan bayar
SPP.
IM tak hanya bergerak di bidang politik, tapi juga bidang-bidang lain. Kelompok ini
kemudian menamakan diri sebagai Tarbiyah yang bermarkas di kampus-kampus .
Kelompok Tarbiyah inilah yang menjadi cikal bakal PKS (Partai Keadilan
Sejahtera). Mereka umumnya alumni Mesir, Syiria atau Saudi.
5. Sejarah Kemunculan Salafi di Indonesia
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai
kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan
gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh
utama yang berperan dalam hal ini.
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai
penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir
Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed
(Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini
bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah
Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah
beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan
Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara
lain adalah:
1. Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
2. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan
sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka
tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan
karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi
modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut;
Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang
kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, 
48
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai
mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang
dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia
“mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di
sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara umum- kemudian berbeda
pandangan: antara yang pro dengan kebijakan itu dan yang kontra.Sampai sejauh ini
sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu
sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut.
Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang
ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara khusus,
beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia
saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan
gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang
dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij,
quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur
ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
C. Pernyataan Kebangsaan NU dan Muhammadiyah
Penegasan NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam Kebangsaan dapat kita
lihat dalam pernyataan Ketua masing-masing ormas yang lahir pada awal abad 20
ini.
Hasyim Muzadi (NU)
Pada pembukaan temu wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengkajian
Konstitusi di Jakarta, Jum’at 23 Februari 2007, Ketua PB NU Hasyim Muzadi
menyatakan, “NU menggunakan pendekatan substansial inklusif ketika berhubungan
dengan negara. Bagi NU, UUD 45 itu sarat makna agama meski tidak ada stempel
agamanya. Namun, saat diberi stempel Islam, agama lain akan marah. NU memiliki
dua dimensi. Pertama, sesuai AD/ART, NU melakukan syari’at Islam dalam lingkup
umat Islam. Kedua, untuk Indonesia, NU tak memaksakan syari’at. Tetapi
membangun hukum nasional yang diilhami nilai agama. Bagi NU, Indonesia bukan
negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler.” (Kompas, 26 Februari 2007).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi,
menyatakan, syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup
diamalkan oleh orang Islam.
“Pada level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama tanpa
menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di level negara,” kata
Hasyim dalam Dialog Islam dan Negara, di Jakarta,Kamis(26/07)kemarin.
Di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, kata Hasyim, pemaksaan
penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan persoalan yang
bisa memecah keutuhan negara.
Mengenai konsep totalitas Islam (kaffah) yang menjadi jargon kelompok Islam
tertentu, Hasyim berpendapat totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus
dilekatkan pada individu, bukan institusi.
“Jadi, menurut saya, konsep kaffah itu cukup menyentuh orangnya, tidak perlu
institusi, apalagi distempelkan pada negara,” kata Hasyim yang menolak hadir pada
Konferensi Khilafah Internasional yang akan digelar Hizbut Tahrir Indonesia di
Jakarta, 12 Agustus mendatang.
Yunahar Ilyas (Muhammadiyah)
Salah satu Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, menyatakan bentuk negara
republik yang dianut Indonesia sudah tepat dan tidak perlu dipersoalkan.
49
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
“Secara normatif, bentuk terdekat negara yang diinginkan Islam itu republik, bukan
kerajaan. Sekarang tinggal bagaimana mengisinya,” katanya.
Karena itu, tambah Yunahar, fokus gerakan Muhammadiyah bukanlah mewujudkan
negara Islam, melainkan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
“Jadi lebih pada masyarakatnya, bukan negara” .
D. Pola Perjuangan HTI, PKS (IM) dan Salafi
Ketiga kelompok ini sama-sama ingin menerapkan formalisasi syariat Islam. Hanya
bedanya, kalau Salafy cenderung ke peribadatan, atau dalam bahasa lain
mengislamkan orang Islam, karena dianggap belum Islam. Hizbut Tahrir,artinya,
partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat
dengan ideologi khilafah Islamiyah. IM masih agak moderat karena masih mau
menerima negara nasional. Tapi substansi perjuangan formalisasi syariat sama
dengan Hizbut Tahrir atau Salafy. Hizbut Tahrir katemu dengan Salafy dan
Ikhwanul Muslimin dalam soal formalisasi syariat. Tapi dari segi sistem khilafahnya
tidak ketemu.
E. Persinggungan antara Dua Kubu
Kehadiran IM, HTI dan Salafi dalam percaturan dinamika Islam di Indonesia telah
menjadi fenomena yang menarik. Sebagai kelompok baru, mereka sangat intens
untuk berdakwah, merekrut kader-kader baru. Hal ini sangat dirasakan di kampuskampus
(target potensial mereka adalah mahasiswa dan dosen). Setelah golongan
kampus
dipegang, masing-masing kelompok meneruskan penjaringannya ke lingkup
yang
lebih besar, masyarakat Islam pada umumnya dengan focus tempat-tempat
kegiatan
umat (sekolah dan masjid). Ketika memasuki arena dakwah di masyarakat,

maka
kelompok-kelompok ini berhadapan dengan organisasi Islam lain yang telah
lebih
dulu eksis, seperti NU dan Muhammadiyah.
perebutan
pengaruh antara, pencarian kader baru di kubu HTI,
PKS
(Salafi agak

selamat
dalam “konflik” ini karena lebih cendrung berjalan otonomi dan sikap alergi
dengan
organisasi), dan usaha menjaga keterikatan “warga”, bagi NU dan
Muhammadiyah
telah mencapai tahap konflik.
Ahad
27 Mei 2007, pengurus takmir dan pengurus ranting NU se-Majelis Wakil

Cabang
(MWC), kepengurusan NU di tingkat kecamatan kota Banyuwangi
menggelar
sebuah “hajatan” penting. Acara warga Nahdliyyin tersebut dimulai pukul
08.00
hingga 14.30 WIB. Urun rembug warga NU tersebut
menghasilkan
lima
keputusan.
Pertama, seluruh warga NU se MWC diminta untuk melaksanakan

instruksi
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk memberdayakan
dan
membentengi
masjid NU dari ideologi di luar NU. Kedua, seluruh warga NU
diminta
untuk kembali intens mengkaji ideologi Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja),

pegangan
yang dianut NU sejak berdiri hingga saat ini. Ketiga, membahas tentang
perlu
tidaknya memberikan sertifikasi bagi seluruh masjid yang selama ini dipegang
warga
NU. Keempat, membahas tentang pentingnya
membuat
teknik ideal khutbah.
Ini
sebagai jawaban dari alasan generasi muda NU yang malas ke masjid karena
bosan
mendengar khutbah yang berulang-ulang. Karenanya, pertemuan itu
mengharapkan
para khatib agar membuat bahan ceramah yang menarik dan tidak
membosankan.
Kelima, terkait dengan kebersihan dan kesehatan di masjid-masjid
NU.
Secara
keseluruhan, kepengurusan NU di Banyuwangi
memiliki 24
cabang MWC.
Pertemuan
pengurus dan takmir masjid NU di Masjid Baiturrahman, Ahad 27 Mei
2007
lalu adalah pertemuan yang ke-14. Rencananya,
mereka
masih akan menggelar
pertemuan
serupa di 10 cabang MWC yang tersisa. “Dari 24 MWC sudah berjalan di
14
MWC. Acaranya, berpindah-pindah, tiap Sabtu dan Ahad,” kata Ketua
Tanfidziyah
PCNU Banyuwangi
KH
Masykur Ali.
Langkah
“memberdayakan dan membentengi masjid NU dari ideologi di luar NU” di 
50
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
atas tak terjadi dengan sendirinya. Ormas terbesar di Indonesia itu merasa gerah
dengan kiprah yang dilakukan sejumlah gerakan Islam, seperti Jamaah Tabligh (JT),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan gerakan Islam lainnya.Mereka menuding
sejumlah gerakan Islam tersebut melakukan “pengambilalihan” masjid di sejumlah
kantong NU, seperti di Banyuwangi, Sidoarjo, Pasuruan dan sejumlah daerah
lainnya. Ada tiga masjid milik warga Nahdliyyin di Banyuwangi, Jawa Timur;
masing-masing di Purwoharjo, Genteng dan Ketapang, yang diklaim telah
diambilalih berbagai gerakan Islam tersebut.
Bentuk “pengambilalihan” bermacam-macam. Pertama, melalui administrasi formal.
Setelah dipercaya menjadi pengurus atau panitia masjid, dicari-cari apa
“kekurangan” atau yang belum dilakukan masjid tersebut, seperti sertifikat dan
lainnya. Langkah berikutnya setelah mengetahui “kelemahan” administrasi masjid
tersebut, mereka berusaha membantu dengan mendapatkan dan mengurus
sertifikatnya. Mereka akan mengeluarkan biaya pengurusan, baik separuh atau
keseluruhannya. Kedua, mereka menyampaikan nilai-nilai Islam ala gerakan mereka,
bahkan mempermasalahkan rituil ibadah yang selama ini dilakukan warga
Nahdliyyin, seperti tarawih, qunut, tahlil, shalawat dengan menggunakan kata
sayyidina dan lainnya. Penasihat Cabang Takmir Masjid Indonesia (LTMI) NU
Muhdor Atim menyatakan,”Ketika mereka mengedepankan institusi dan praktikpraktik
ubudiyah, masalahnya menjadi lain. Karena itu, di masjid saya buang tas
mereka.
Karena mereka tak menggunakan etika. Menganggap diri paling benar,
kemudian
masuk atas nama ingin meramaikan masjid”.
Sementara
Muhammadiyah
juga terlibat konflik dengan kelompok Islam baru ini.
Secara
resmi ormas ini sudah mengeluarkan surat peringatan keras. Melalui SK
149,

1
Desember 2006, Pengurus Pusat Muhammadiyah secara khusus mengingatkan
kadernya
agar waspada terhadap upaya “infiltrasi” dari pihak luar.
“Secara
khusus anggota dan lini organisasi Persyarikatan termasuk di lingkungan

amal
usaha Muhammadiyah
harus bebas dari pengaruh misi, infiltrasi, dan
kepentingan
partai politik yang
selama ini mengusung misi dakwah atau partai
politik
bersayap dakwah”. Keluarnya SK
149 itu
tidak bisa dilepaskan dari
gesekan
yang
terjadi di gross root. Dalam buku Ikhwanul Muhammadiyah,
Benturan Ideologi
dan
kaderisasi dalam Muhammadiyah, dikisahkan kasus pengunduran diri oleh
belasan
anggota Pimpinan Cabang Nasyi’atul ‘Asyiyah
di suatu tempat karena
terlibat
di dalam PKS. Bahkan pernah ada kegiatan PKS yang dibubarkan
sekelompok
pemuda yang
tergabung dalam Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab
kegiatan
tersebut digunakan untuk kegiatan “partai politik” tertentu.
F. Akar Persoalan
Pertanyaan manarik yang bisa kita ajukan adalah mengapa sesama organisasi Islam,
yang sama-sama berjuang untuk kejayaan dan kemuliaan Islam saling berjibaku dan
terlibat dalam arena konflik. Menurut penulis, hal ini terjadi karena perbedaan tafsir
agama dan perbedaan kepentingan.
G. Umat Islam, Bersatulah!
Allah SWT berfirman:Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu,
damaikanlah saudara-saudara kalian dan bertakwalah kalian kepada Allah agar
kalian dirahmati. (QS al-Hujurat [49]: 10).
Al-Qurthubi di dalam buku tafsirnya menyebutkan bahwa persaudaraan antar kaum
Mukmin adalah dalam hal agama dan kehormatan, bukan dalam nasab. Persaudaraan
dalam agama lebih kokoh dibandingkan dengan persaudaraan nasab. Sebab,
persaudaraan nasab dapat terputus dengan perbedaan agama, sedangkan
persaudaraan dalam agama tidak pernah terputus dengan perbedaan nasab. Namun,
sayang, sikap dan perasaan ini tidak sepenuhnya diaplikasikan oleh kebanyakan
kaum Muslim saat ini.Lebih jauh, Allah SWT berfirman:
51
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
“Berpeganglah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai.” (QS Ali
Imran [3]:103).
Tegas sekali, ayat ini memerintahkan kaum Mukmin untuk bersatu atas dasar Islam
dan untuk menegakkan Islam, dengan menjadikan syariah sebagai tolok ukurnya;
bukan bersatu demi kelompok, partai, figur, ataupun fanatisme masing-masing.
Sebab, al-Quran sebagai tali kemenangan memang diturunkan Allah SWT sebagai
metode kehidupan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, kehinaan,
keterbelakangan, dan keterpecahbelahan saat ini.
Jelaslah bahwa Islam merupakan penyatu kaum Muslim. Sebaliknya, semangat
golongan, kesukuan dan kebangsaan adalah semangat Jahiliah yang tidak layak
dijadikan penyatu kaum Muslim. Apalagi hal itu dilakukan untuk berseteru dengan
sesama Muslim. Untuk itu, setiap Muslim harus segera meninggalkan segala bentuk
pemikiran dan ikatan kufur dan beralih pada ikatan Islam. Dengan demikian, setiap
upaya untuk menjadikan sesama Muslim saling berhadapan dalam bentrokan fisik
wajib dihancurkan.
(Diolah dari berbagai sumber)
*Disampaikan oleh Anggun Gunawan pada Diskusi Kader IMM BSKM pada hari Ahad
26 Agustus 2007 di Sekretariat IMM BSKM Pakar Yogyakarta
8 Tanggapan »
1.
Akar masalahnya adalah karena sikap ashobiyah thdp kelompok/wadah, bukan 
Islamnya…
Dan usaha2 menstrukturisasi aktivitas dakwah dalam bentuk wadah yang
bernama organisasi atau jama’ah tentu bukan sumber permasalahannya seperti
pdapat teman2 salafy.
Kesudian berdialog, bekerjasama dan tanpa saling curiga dgn merasa bakal
kecolongan anggotanya. Mnurut saya setiap kita bisa2 saja berada di wadah
manapun yg tidak saling kontra. Sehingga mnurut saya boleh2 saja kita adalah
sekaligus anggota Muhammadiyah, kader PKS juga pengikut jema’ah tabligh.
Sebenarnya tidak ada yg dirugikan, kecuali ketika kita merasa anggota kita hanya
boleh berkiprah di wadah kita, lalu terlarang di bekerja juga di wadah yg bukan
kita. Yang penting Islam bukan wadahnya. Iya kan ?
Salam kenal…
Komentar oleh Herianto — 28 Agustus, 2007 @ 7:35 pm
2.
hebat..antum telah cukup mengenal dunia pergerakan
rupanya kita bisa cukup banyak berdiskusi terkait hal itu
semoga….
Komentar oleh sayyid ahmad al-kahfi — 29 Agustus, 2007 @ 10:26 pm
3.
top ane dukung
Komentar oleh ibay — 24 September, 2007 @ 11:26 am
52
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
4.
ketika fitnah sudah mulai bertebaran di antara kalangan ummat Islam, ketika itu 
pula kehancuran semakin dekat. tapi bagaimana jika fitnah tsb secara (mudahmudahan)
tidak sadar dilakukan oleh para pimpinan
“kelompok” Islam ?
hasbunallah wani’malwakiil
wallau’alambishowab
Komentar oleh eki — 9 Oktober, 2007 @ 6:54 am
5.
ALLAHU GHOYATUNA
AL-QUR’ANU DUSTURUNA
AR-ROSULU QUDWATUNA
AL-MUSLIMU IKHWANUNA
LA ‘IZZATA ILLA BI AL-ISLAM
LA ISLAMA ILLA BI ASY-SYARIAH AL-ISLAM
LA SYARIATA ILLA BI AD-DAULAH AL-KHILAFAH
ALLOHU AKBAR
Komentar oleh HANNY — 20 Oktober, 2007 @ 1:54 pm
6.
mohonlah hidayah kepada allah.
fitnah ukhuwah ini adalah ujian puncak yang juga dihadapi oleh generasi tebaik
ummat ini. fitnah kubro justru terjadi pada generasi sahabat, generasi terbaik
dalam keteladanan. ini adalah sunnah kehidupan…yang paling penting adalah
bagaimana kita belajar dari keteladanan berukhuwah para sahabat disaat mereka
terpaksa harus saling angkat senjata sekalipun. disinilah keikhlasan kita dalam
berislam menemukan ujian sesungguhnya. apakah kita berislam murni untuk
allah ataukah ada ashobiyah jahiliyah yang membonceng fasehnya dalil-dalil
yang dihujjahkan.wallahu a’lam
Komentar oleh Al Fadhl — 22 Nopember, 2007 @ 8:58 am
7.
Assalamu’alikum
segala puji bagi Allah SWT, Shalawat dan salam untuk Rasulullah SAW
Menurut saya yang awam ini, Keberadaan Ideologi Islam transnasional di
Indonesia jangan sampai dipermasalahkan, apalagi dibuat seolah-oleh
kontradiksi dengan islam kebangsaan, karena pada dasarnya toh sama-sama
islam, tujuannya juga sama mencapai ridho Allah AWT, ya toh! Asalkan tidak
melenceng dari ajaran-ajaran islam terutama yang menyangkut aqidah dan
ibadah. Menurut saya sih akan terlihat siapa orang yang benar-benar mencari
kebenaran, dan siapa orang-orang yang memang lebih suka mencari-cari 
53
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
perbedaan antara dirinya dengan orang lain atau selalu mencari-cari kesalahan
orang lain. Masih terlalu banyak persoalan ummat di negeri ini yang harus kita
selesaikan bersama-sama. Singkat kata, marilah ummat Islam di Indonesia,
bersama-sama kita bersatu untuk maju, meninggalkan ketertinggalan kita dari
bangsa dan ummat lain, kita raih kejayaan islam kembali supaya dapat hidup di
negara yang baldatun thoyibatun warobbun ghofur, selamat dunia akhirat. sekian
dan Terimakasih. wallahu’alam bishowab. wassalam
Komentar oleh paridah — 30 Nopember, 2007 @ 3:00 pm
8.
Assalamu’alaikum
penjabaran yang sangat bagus sekali…. btw mau tanya nih,jad
penasaran….boleh kan?
antum tuh tahu semua itu dari hasil belajar,penelitian ato ikut terjun langsung?
wassalamu’alaikum
Komentar oleh dyia_kya — 12 Januari, 2008 @ 10:51 pm
7 Agustus, 2007
- HAR -
GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM (I)
Diarsipkan di bawah: Islamic Though — greata @ 10:30 pm 
PENGERTIAN ISTILAH
1.   Harun Nasution cendrung menganalogikan istilah “pembaharuan” dengan
“modernisme”, karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti
pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adt-istiadat, institusi
lama, dan sebagainya unutk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat
dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan
Protestan dengan ilmu pengetahuna modern.
Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, harun Nasution keberatan
menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas ( Azra, Azyumardi
: 1996 )
2.  Revivalisasi
Menurut paham ini, “pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang
“murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam dan kaum Salaf ( Azra, Azyumardi : 1996 )
3.  Kebangkitan Kembali ( Resugence )
Dalam kamus Oxford, resurgence didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul
kembali” (the act of rising again ). Pengertian ini memnagandung 3 hal :
a.suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim melihat 
54
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi penting
kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dankehormatan dirinya.
b.“kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa keadaaan tersebut telah terjadi
sebelumnya. Jejak hidup nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dan para
pengikutnya memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang
menaruh perhatian pada jalan hidup Islam saat ini.
c.Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep, mengandung paham tentang suatu
tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain (
Muzaffar, Chandra : 1988 )
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PEMBAHARUAN ISLAM
1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generasi baru
muslim.
2. Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme.
3. Gaya hidup elit sekuler di negara-negara Islam.
4. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah yang semakin 
berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara politik.
5. Pencarian keamanan psikologis diantara kaum pendatang baru di daerah perkotaan.
6. Lingkungan kota.
7. Ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjaknya harga minyak.
8. Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas Israel tahun 1973, 
Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali peradaban Islam abad ke 15
Hijriah ( Mazaffar, Chandra ;1988 )
CIRI-CIRI PEMBARUAN ISLAM
1.   Kepercayaan yang kuat bahwa masyarakat harus ditata atas dasar Al-Qur’an dan AsSunnah
/ hadist nabi. 
2.   Kebuadayaan barat harus ditolak. Meskipun ada yang mau menerima kemajuankemajuan
barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (
Muzaffar,
Chandra ; 1988 ).
GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM
Muhammad Bin Abdul Wahab ( 1703-1787 )
Beliau dilahirkan di Uyainah, sebuah dusun di Najed bagian Timur Saudi Arabia. Ia
dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama yang ketat di bawah pengaruh mazhab
Hanbali, yaitu mazhab yang memperkenalkan dirinya sebagai aliran Salafiyah.
Muhammad Bin Abdul Wahab menamakan gerakannya, “Gerakan Muwahidin yaitu
suatu gerakan yang bertujuan untuk mensucikan dan meng-Esakan Allah dengan
semurni-murninya yang mudah, gampang dipahami, dan diamalkan persis seperti Islam
pada masa permulaan sejarahnya.
Gerakan yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab ini dinamakan “Gerakan
Wahabi” sebagai ejek-ejekan oleh lawan-lawannya.
Hal-hal yang ditekankan oleh gerakan ini adalah :
1.Penyembahan kepada selain Allah adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia
dibunuh.
2.Orang yang mencari ampunan Allah dengan mengunjungi kuburan orang-orang
sholeh, termasuk golongan musyrikin.
3.Termasuk perbuatan musyrik memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama
Nabi-nabi atau wali atau Malaikat ( seperti sayidina Muhammad ).
4.Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Alqur’an dan
Sunnah, atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata-mata.
5.Termasuk kufur dan ilhad yang menginkari “Qadar” dalam semua perbuatan dan
penafsiran Qur’an dengan jalan ta’wil.
55
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
6.Dilarang memakai buah tasbih dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid
) cukup menghitung dengan jari.
7.Sumber syariat Islam dalam soal halal dan haram hanya Alqur’an semata-mata dan
sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul. Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha
tentang haram-halal tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber
tersebut.
8.Pintu Ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan Ijtihad, asal sudah
memenuhi syarat-syaratnya.
Sifat gerakan Wahabi yang keras, lugas, dan sederhana benar-benar tenaga yang
sanggup mengoncangkan dan membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang
sedang lelap tidur dalam kegelapan. Bersama dengan Ibnu Su’ud, pendiri Dinasti
Su’udiyah ( Saudi Arabia ) berjuang dengan sikap pantang menyerah. Ibnu Su’ud dalam
menjalankan roda pemerintahannya dilhami oleh syaikh Muhammad.
1 Tanggapan »
1.
‘Kebangkitan islam’ adalah suatu hal yang lumrah, wajar dan normal. 
Sebagaimana kebangkitan kita dari tidur. Kita menginginkan ’suatu hal’ yang
dulu ada namun ‘kini hilang tak berbekas’.
Kita mulai berpikir, bagaimana caranya agar ’seperti dahulu’. Namun kadang
kita lupa bahwa terjadinya sesuatu ada sebab dan akibat yang mendasar dan
penting. 
Kita katakan bahwa api yang membakar minyak dan memanaskan panci
sehingga kita bisa memasak. Namun kita lupa siapakah yang menyebabkan ‘api’
menjadi panas dan bukannya dingin.
Bukan fakta yang menyebabkan kita ‘tidak mampu membangkitkan islam’
namun lebih kepada ‘cara berfikir kita’ yang berbeda.
Sebagaimana para Nabi dan Rasul tidak menginginkan banyaknya pengikut.
Namun lebih kepada ‘menyampaikan apa yang telah diamanatkan untuk
disampaikan’.
Mirip dengan pikiran kita yang kadang mempertanyakan ‘mengapa para ulama
membahas suatu hal yang tidak penting, misalnya seekor lalat yang jatuh
kedalam minuman kita’, dan tidak membahas secara detail tentang ‘kebangkitan
islam’.
Secara tidak sadar kita telah melupakan ‘hakekat’ dibalik cerita ‘lalat’. Kita
belum mampu ‘memahami’ bahwa bukan sekedar persoalan ‘lalat’ yang
disampaikan. Tapi lebih kepada persoalan ‘amanat’ berupa ‘berita’ tentang ‘lalat’
yang disampaikan dari Allah kepada Rasulullah kemudian ke ulama dan ke kita.
Seseorang yang jujur akan menyampaikan berita tanpa ditambah maupun
dikurangi dan menyampaikan rahasia dibalik peristiwa tersebut.
Komentar oleh rony — 19 Agustus, 2007 @ 11:25 am
- HAR -
56
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Muhamad ALI
http://mohamadali.blogspot.com/ - diakses 29-08-2008
This blog is dedicated for the opinions and study of Islam and other religious traditions
as constructed within changing intellectual and socio-political contexts utilizing various
and interdisciplinary perspectives. The focus will be given to the development of Islam
and other religions in Indonesia and its wider region of Southeast Asia, the Middle East,
the United States, and Europe.
Monday, March 10, 2008
Kajian Islam Indonesia
Penting melihat perkembangan (atau kemunduran?) studi Islam di Indonesia, dan
bagaimana arahnya kedepan. Cak Nur almarhum pernah menulis Islam Indonesia harus
bergerak dari pinggiran ke pusat. Cak Nur melihat keunikan dan kompleksitas ciri-ciri
Islam Indonesia: Islam dan budaya lokal, Islam dan Sufisme, dan Kebangkitan Islam. Ia
berkesimpulan, seperti Hodgson dalam The Venture of Islam-nya, bahwa Islam
Indonesia sama sejatinya dengan Islam di dunia lain; ini untuk menolak anggapan bahwa
Islam Indonesia inferior dan marjinal dibanding Islam Arab. Supervisor saya di
Edinburgh, yang juga supervisor Kak Edy di Columbia, William Roff, melihat Islam
Indonesia sebagai industri pengetahun (knowledge industry) yang memiliki masa depan
cerah. Roff membagi pendekatan kajian Islam menjadi tekstualis dan kontekstualis - apa
yang seharusnya di satu sisi dan praktek budaya di sisi lain, dan sependapat dengan
Salvatore dalam Islam and Political Discourse of Modernity yang membuka hubungan
dialektis antara wacana Orientalisme dan wacana otentisitas. Ia berharap banyak kepada
lulusan IAIN yang menggabungkan berbagai tradisi pemikiran yang ia sebutkan itu.
Saya melihat kesarjanaan Islam di Indonesia masih terus mencari bentuknya, dan saya
kira perkembangannya sangat ditentukan oleh semua yang tertarik dan serius
mengembangkannya. Pertama, selama ini, kajian-kajian lulusan Timur Tengah masih
terfokus pada kajian teks dan kajian normatif. Kajian normatif tekstualis seperti ini
sangat penting dalam hal pengembangan Islam sebagai agama anutan mayoritas umat
Islam Indonesia. Transmisi ilmu dari Saudi, dari Mesir, Pakistan, cukup mendominasi.
Melalui Pakistan, format kajian Islam di Indonesia menjadi lebih pada kajian-kajian
negara Islam dan ekonomi Islam. Melalui Saudi, kajian-kajian Islam pada ushuluddin.
Sementara Mesir, lebih beragam: tafsir, filsafat, dan seterusnya. Transmisi dari Timur
Tengah dan Asia Selatan ini memiliki dampak pada pendekatan dan obyek kajian dan
arah kajian Islam di Indonesia khususnya di lembaga-lembaga pendidikan berorientasi
da'wah. Posisi IAIN menurut saya lebih unik, karena transmisinya tidak terbatas berasal
dari negeri-negeri ini, tapi juga Iran, Afrika (Sudan), Leiden, dan negeri-negeri Barat,
plus dari lulusan pasca sarjana IAIN/UIN sendiri. Dengan kata lain, kajian Islam di
IAIN/UIN di tingkat S-1 cenderung lebih terbuka dan eklektik, dan salah satu resikonya
cenderung generalis. Secara singkat bisa dikatakan, ciri kajian Islam di IAIN/UIN
berada pada konteks yang lebih multi-kultural. Untuk topik ini, kolega saya Michael
Feener baru menulis artikel tentang sejarah intelektualisme Islam dalam konteks multikultural.
Saya
sependapat dengan Feener,
bahwa kajian Islam Indonesia lebih

multikultural
dibandingkan dengan kajian-kajian Islam di beberapa negara Arab sendiri.
Kedua,
dari sisi metodologi, kajian Islam di Indonesia, meskipun multikultural di
atas,
masih jauh dari kedalaman. Artinya, karena prosesnya masih transisional dan masih
mencari jati diri keilmuan, sebagian sarjana Muslim Indonesia terlalu "excited",
gembira, dengan teori-teori dan metode-metode baru yang muncul, tapi melupakan
fokus, dan tidak melanjutkannya untuk penguatan. Misalnya, banyak mahasiswa/sarjana
yang tertarik dengan metode sejarah dan hermeneutik Arkoun, atau Abu Zaid, atau
Hanafi, dan seterusnya, namun basis bahasa dan keseriusan masih kurang optimal. Saya 
57
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
melihat faktor bahasa masih menjadi penghambat. Arab, Inggris, Perancis, Jerman sudah
mulai digemari, tapi masih terbatas orang-orangnya, karena kendala praktis dan kendala
kesibukan dan tanggung jawab sosial. Kajian antropologi Islam (misalnya pendekatan
Islam sebagai discursive tradition Talal Asad) mulai diminati. Sejarah Islam juga
melihat banyak aspek sejarah lokal Muslim Indonesia. Kajian perbandingan agama juga
cukup menjanjikan: tulisan-tulisan mengenai hubungan antar agama dan seterusnya.
Kajian-kajian yang empiris cukup diminati kalangan mahasiswa dan para dosennya.
Yang menarik di UIN sekarang adalah penamaan jurusan dengan Ushuluddin dan
Filsafat dimaksudkan untuk terjadinya dialog antara agama dan filsafat (Timur, barat),
Dakwah dan Komunikasi juga demikian, Tarbiiyyah dan Pendidikan, Syariah dan
Hukum; Adab dan Sastra, dan seterusnya. Revisi ini semua secara simbolik komitmen
untuk senantiasa berdialog antara tradisi keilmuan Islam Arab dan tradisi keilmuan
Barat. Saya kira, secara metodologis, UIN mengarah pada sintesis keilmuan yang
kreatif, merangkul otentisitas dan modernitas sekaligus, memeluk tradisi dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, dari segi produk, seperti jurnal ilmiyah, dalam
5 tahun terakhir, ada perkembangan yang cukup pesat. Hampir setiap jurusan, jika tidak
fakultas di UIN Jakarta, dan UIN-UIN lain, ada jurnal ilmiyah. Kajian-kajiannya juga
cukup beragam, dan cukup menjanjikan. Tapi sekali lagi, sumber-sumber teoritis dan
metodologis masih kurang. Buku-buku terjemahan memang bermanfaat, tapi sumbersumber
teoritis dan metodologis
dari buku-buku
terjemahan menyisakan
persoalan

kredibilitas
dan kurangnya
kepercayaan diri. Jurnal-jurnal
ilmiyah yang
ada juga dalam
beberapa
bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab. Jurnal-jurnal ilmiyah
yang ada tentu saja
melalui
proses seleksi (meskipun sebagian besarnya
peer-review;
untuk
Studi
Islamika
silahkan
para editor menanggapi). Dari segi kuantitas cukup menjanjikan; tapi dari segi
kualitas,
potensi pengembangan
kreatif semakin
besar. Saya
kira pasca-sarjana
UIN
adalah
pusat kajian Islam yang paling strategis. Keempat, saya kira penting
membandingkan
kajian Islam di Indonesia dan kajian Islam di Barat (khususnya di AS
dan
di Inggris), meskipun memiliki dinamikanya
sendiri,
bisa dijadikan kerangka
menilai
kajian Islam Indonesia. Secara singkat begini. Kajian Islam di Indonesia ternyata
lebih
multikultural dibandingkan dengan kajian Islam di AS. Maksud saya, banyak
sarjana
Islam di AS mengabaikan wacana kajian Islam di dunia Islam, baik di Arab,
maupun
di wilayah lain seperti Asia Tenggara. Banyak sarjana Islam Indonesia lebih
fasih
mengikuti perkembangan keilmuan di Arab dan di Barat, ketimbang sebaliknya.
Di
jurusan
Islamic and Middle Eastern Studies di Edinburgh misalnya, sarjana Arabicist
dan
Islamicist cukup banyak merujuk kitab-kitab klasik untuk kajian-kajian tekstual.
Sarjana
ulum al-Qur'an di sana merujuk banyak kitab-kitab ulum -AlQur'an dan tafsir.
Ahli
sejarah Islam seperti Carole Hillenbrand merujuk kitab-kitab Arab abad
pertengahan,
seperti karyanya
the Crusadesfrom
an
Islamic Perspective. Richard Bell
and
muridnya Montgomery Watt menulis karya-karyanya
yang
komprehensif
berdasarkan
kitab-kitab Arab. Karyanya
tentang Al-Ghazali, dan teologi Islam misalnya
bersumberkan
karya-karya Arab. Tapi
sarjana-sarjana
yunior
masih
kurang apresiasi

terhadap
karya-karya
luar. Pertama,
karya-karya
sarjana Islamis
dan Arabis kontemporer
memang
kurang merespons dan kurang berdialog dengan karya-karya kontemporer di
dunia
Arab. Di AS, setidaknya pada Konferensi American Academy of Religion
beberapa
waktu lalu, kajian Islam di Asia Tenggara, kurang mendapatkan tempat
dibandingkan
dengan kajian-kajian Islam kontemporer di Amerika yang lebih terfokus
pada
topik-topik ras, jender, demokrasi, selain Rumi, Ghazali, Ibn Arabi, Shafii, dan
sebagainya.
Metodologinya cukup beragam,
namun Islam Asia Tenggara, yang
penganutnya
terbesar di dunia, masih dianggap marginal, karena berbagai faktor
(bahasa,
budaya,
geografi,
dst). Di sisi lain kajian Islam di Arabkurang membaca kajiankajian
Islam Barat dan apalagi Indonesia. Dalam percakapan kami tentang studi Islam di
AS,
ada usulan bahwa karya-karya Islam di Barat diterjemahkan kedalam bahasa Arab,
sehingga
bisa diakses intelektual
Arab
sana. Sarjana-sarjana
Islam di dunia Arab
seharusnya
juga
mengakses karya-karya
Islam di
Barat dengan cara memperkuat bahasa
Inggris,
Perancis, atau Jerman mereka. Jadi, problem kurangnya dialog antar
"peradaban"
harus terjadi di
semua bagian:
di
Barat dan di Timur pula. Tentu saja kita 
58
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
tahu kategori Timur-Barat ini semata-mata demografik, meskipun ada pula
perbedaan2nya. Azyumardi Azra pernah mengingatkan saya untuk terus
mengembangkan studi komparatif Timur Tengah dan Asia Tenggara karena memang
sangat langka saat ini, baik di TimTeng maupun di Asteng. Di Indonesia saja, meskipun
sudah ada ketertarikan, pakar yang memiliki keterampilan komparatif itu dapat dihitung
dengan jari.Kedepan, arah kajian Islam di Indonesia khususnya dan dimanapun, harus
lebih cross-cultural, cross-continental, cross-linguistic, dan bahkan cross-generational.
Yang terakhir ini, cross-generational, juga masih langka, dalam arti debat dan dialog
dengan generasi-generasi klasik, pertengahan, dan baru. Mereka yang fokus pada topiktopik
kontemporer (Antropologi, political science, sociology, misalnya), tentu saja
merasa
tidak perlu atau sulit mengakses karya-karya
klasik dan
pertengahan di dunia
Arab,
selain bahwa bidang-bidang ini tidak berkembang di dunia Arab. Topik kajian dan
periode
kajian juga menentukan metodologi apa yang
paling pas digunakan, namun
dialog
metodologis saya
kira hal
yang
penting dan strategis sehingga ilmu pengetahuan
bisa
lebih "universal", bukan cuma milik dan untuk kampus-kampus atau negeri-negeri
tertentu
saja. 
Posted by Muhamad Ali at 11:29 AM
http://www.blogger.com/
S U N D A Y ,  A U G U S T  1 7 ,  2 0 0 8
Kaitan Islam dan Muslim
- HAR -
Muhamad ALI
Komentar singkat saya, pendapat Ameer Ali dibawah ini penting sekali agar ada
proses ijtihad terus menerus di semua kalangan level umat Islam, termasuk
pengkhotbah dan pemimpin agamanya. Satu catatan saya, pembedaan antara
Islam dan Muslim saya kira tidak terlalu bermanfaat. Sering kita baca "teroris itu
kan orangnya, bukan agamanya." Atau, "yang korup kan orangnya, agamanya tidak
korup." "Orang Barat itu banyak yang takut Muslim, tapi tidak takut Islam." Dan
semacamnya. Saya kira, dari perspektif sejarah dan sosiologi agama, sulit
dipisahkan antara manusia dan agamanya. Barangkali lebih pas berpendapat: ada
banyak penafsiran manusia terhadap agama. Ada banyak Islam. Catatan kedua,
bisa jadi, dan memang, problemnya juga terletak pada agama-agama itu sendiri:
yang kontradiktif, yang kontekstual, yang multi-dimensional, yang multiinterpretable.
Bukan sekedar manusia, kelompok, atau
masyarakatnya, tapi
agamanya.
http://cetak.kompas.com/sosok
Ameer
Ali, Membuka
Pemikiran Muslim Sabtu, 16 Agustus
2008 03:00 WIB LUKI
AULIA
”Tidak ada fobia Islam, yang ada fobia Muslim, melihat tingkah laku Muslim
yang kerap emosional dan terlalu sensitif menanggapi masalah apa pun
akibatpikiran yang tertutup.” Pernyataan ini dilontarkan intelektual
Islammoderat, Ameer Ali, yang ditemui di sela International Conference ofIslamic
Scholars atau ICIS, 29 Juli- 1 Agustus 2008, di Jakarta.Diera modern semestinya
rasionalitas dan pikiran kritis dikedepankansehingga tak ada lagi bentuk kekerasan
apa pun yang terjadi akibatemosi tanpa dasar.Pesan Ali untuk umat Muslim ini 
59
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
muncul darikeprihatinannya melihat banyak orang yang mulai berpaling dari
Islam.Padahal, kata Ali, Allah SWT sama sekali tak membebankan kesulitan
apapun terhadap umat-Nya dalam menjalankan ajaran agama Islam.Iniditegaskan
dalam Al Quran Surah Al-Hajj Ayat 78: Dan berjihadlah kamudi jalan Allah dengan
jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilihkamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu agama yangmembuatmu dalam kesempitan (wa jaahidu
fil-laahi haqqa jihaadih.Huwajtabaakum wa maa ja’ala a’alikum fiddiini min
harajin).”Allahmembuat Islam mudah dipahami dan diikuti. Tetapi, kenapa
sebagian ulamajustru membuatnya jadi sulit? Akibatnya, banyak yang menjauh
dari Islamkarena dirasa sulit menjadi Muslim,” kata Ali, Wakil Presiden
MajelisDakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik (RISEAP) di
Australiaitu.Berbagai bentuk kekerasan, terutama di negara Muslim,
seakanmenjadi trademark Islam bagi negara Barat. Akibatnya, gambaran
tentangIslam dan Muslim menjadi serba menakutkan. Padahal, yang berada dibalik
segala bentuk kekerasan hanya segelintir Muslim yang
berpandanganekstrem.Untuk memperbaiki citra Islam dan Muslim, Ali
membericeramah dan dakwah mengenai Islam dan Muslim kepada siapa pun,
termasukuntuk umat Nasrani di gereja-gereja Australia. Pertanyaan yang
seringmuncul, antara lain, arti jihad dan kondisi perempuan.Karenamemiliki
pandangan moderat, Ali yang pernah menjadi Presiden DewanIslam Federasi
Australia itu lantas ditunjuk menjadi Ketua KelompokReferensi Komunitas Muslim
pada era pemerintahan Perdana Menteri JohnHoward.Ia lantas menjadi duta
Australia ke berbagai dialogantaragama internasional untuk membuka mata dan
pikiran Muslim, sertaberusaha menyadarkan kembali pentingnya rasionalitas
dalam memahamiIslam dan menginterpretasikan Al
Quran.Menginterpretasikankembali Al Quran sesuai dengan konteks dan
zamannya, menurut Ali,menjadi kunci penting untuk membuka pikiran Muslim
agar lebih kritis.Ketidakmampuanuntuk menginterpretasikan Al Quran sesuai
konteks dan waktunya hanyaakan membuahkan fanatisme, pandangan ekstremis,
dan emosional tanpalogika. Padahal, Al Quran sebenarnya ada untuk memancing
pemikirankritis yang tidak asal menerima mentah-mentah kata-kata yang ada
didalamnya.Ali mengingatkan, ayat-ayat Al Quran diturunkan padazaman
Muhammad SAW sehingga isinya pun menyesuaikan dengan zaman itu.”Kalau tidak
tahu konteksnya, kita tidak akan tahu maksudnya. Kitaharus mengkritisi dan
menginterpretasi lebih lanjut isi Al Quran. Iniindahnya Al Quran,” ujar ayah dari
dua anak ini.Pengetahuan modernPersoalannya,justru sebagian ulama tradisional
juga yang menutup pikiran Muslim,baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan pemikiran atauajaran tradisional konvensional yang sudah ketinggalan
zaman.Banyakulama tradisional tidak mendalami pengetahuan modern dan
terpaku padaajaran yang sama selama berabad-abad. Padahal, jika ditilik
dariartinya, ulama semestinya seseorang yang memiliki pengetahuan luas dantidak
hanya terbatas pada pengetahuan agama.Jika seseorang inginmemahami Al Quran
dengan baik dan lengkap sekaligus obyektif, dia harusmempunyai bekal latar 
60
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
belakang pemahaman ilmu sejarah, ekonomi,sosiologi, dan politik.Tren
intelektual Islam yang sarat bekalilmu pengetahuan lengkap dan modern seperti
itu, kata Ali, justru lebihbanyak muncul di negara-negara Barat.Meskipun
demikian, menurutpandangan Ali, hal ini wajar mengingat banyak intelektual
Islam yangterpaksa migrasi ke Barat. Di tempat ini mereka justru
mendapatkesempatan luas untuk berpikir, berekspresi, dan mengeluarkan
pendapat.Olehkarena itu, tidak berlebihan apabila dikatakan kebangkitan
generasibaru Muslim kemungkinan akan dimulai dari Barat. ”Kalau kita
tidakmempunyai latar belakang pengetahuan yang lengkap, akan sangat
sulitmemahami Al Quran dan memecahkan misteri Allah yang ada di
dalamnya,”kata Ali.Misteri Allah yang ada di dalam Al Quran dimaksudkanuntuk
dibuka, dipecahkan, dipelajari, dan dikritisi. Al Quran adalahkitab untuk siapa pun
pada segala zaman. Kitab yang bisa digunakanuntuk menjelaskan berbagai macam
hal apabila diinterpretasikan sesuaikonteks dan zamannya.Pendidikan
Masalahnya,Al Quran sering kali justru terlalu dipuja, tetapi isinya takbenar-benar
dipahami. Ali menilai persoalan umat Muslim ada padapendidikan.Minimnya
pendidikan dan masih tingginya tingkat butahuruf di dunia Muslim, ditambah
indoktrinasi selama berabad- abad olehkelompok ortodoks, telah melumpuhkan
kemampuan rasionalisasi. Karenaitu, perlu ada pendidikan modern untuk
mengembangkan daya pikir kritisagar bisa menganalisis persoalan dengan logis
dan menghasilkan solusipraktis.”Ini tidak ada pada sebagian ulama tradisional,”
kata Ali.Diakhawatir ulama tradisional justru akan memicu gerakan ekstremisme
yangmuncul akibat pikiran yang tertutup. Khotbah-khotbah di masjid, kataAli,
bisa berakibat buruk apabila ditelan mentah-mentah oleh Muslimyang pikirannya
tertutup.Seharusnya khotbah-khotbah itu membahasisu-isu yang tengah hangat
dan terkait dengan kehidupan sehari-hari.Imam juga diharapkan memberi
semacam panduan bagi Muslim.”Sayayakin, sebagian ulama itu tak dengan sengaja
membentuk pikiran ekstrem.Tetapi, isi khotbahnya yang sering kali memancing
orang ke arah itu.Yang lebih parah, kita tak boleh membantah atau mengkritisi
khotbah.Kita harus bisa menjaga anak-anak muda agar tidak sampai menelan
ideyang keliru dan terjerumus dalam kekerasan,” kata Ali yang dikenalsebagai
pakar ekonomi dan pembangunan di negara-negara Muslim.Carapaling efektif
untuk mengantisipasi hal itu adalah lewat pendidikan.Untuk mendukung
pendidikan perlu suasana demokratis sehingga masyarakatbisa diberdayakan.
Padahal, mayoritas negara Muslim belum mempraktikkandemokrasi.”Ini tantangan
kita. Allah tidak akan mengubah nasibsuatu bangsa kecuali kita mengubah diri
sendiri. Caranya, denganmemberdayakan generasi muda dan wanita. Kita sudah
tahu kelemahan kitadan akar masalahnya. Jangan salahkan orang lain, tetapi
salahkan dirisendiri. Kita harus menjadi agen perubahan, tetapi harus ubah
dirisendiri dulu,” kata Ali yang migrasi ke Australia pada 1977 karenaalasan politik
itu. 
Posted by Muhamad Ali at 1:05 PM
61
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
F R I D A Y ,  A U G U S T  0 8 ,  2 0 0 8
- HAR -
Muhamad ALI
Kontekstualisasi Nabi Muhammad di Indonesia
Saya kira pembedaan “historical Muhammad” dan “contextualized Muhammad” (
Indonesia) cukup membantu, tapi yang kedua, hemat saya, membutuhkan yang
pertama, dan keduanya tidak berarti perlu dipisahkan. Upaya kontekstualisasi dan
liberalisasi Muhammad untuk Indonesia dan sekarang tidak mungkin bisa dilakukan
tanpa memposisikan Muhammad sebagai figus historis yang hidup dan berjuang
pada zamannya sambil pada saat yang sama melakukan pembacaan terhadap
Indonesia, sejarahnya dan masalah-masalahnya. Proses historisasi dan
kontekstualisasi saya kira terjadi secara bersamaan dan back and forward.
Pendekatan historis terhadap Muhammad adalah sarat pertama, meskipun tidak
cukup. Berikut ini, pemaparan apa yang saya maksud kontesktualisasi Muhammad,
dan secara khusus liberalisasi Muhammad dan Quran untuk Indonesia.
Sebelumnya, perlu diingat, citra Muhammad selalu atau lebih seringsebagai figur
perang tidak sepenuhnya benar untuk konteks Indonesia. Waktu saya menyantren,
figure militer Muhammad hanya disebut sambil lalu, tidak begitu penting dan
tidak berpengaruh pada pendidikan kesantrian; yang ada waktu itu, Muhammad
adalah cinta ilmu pengetahuan, pemaaf, tidak ingkar janji, menyantuni fakir
miskin, menghormati tamu, suka humor, mencintai perempuan, dan aspek-aspek
etik lainnya, yang saya percaya kontekstual untuk konteks saya sebagai santri dan
anggota masyarakat di Indonesia. Saya kira ribuan pesantran dan madrasah dan
institusi agama di Indonesia melihat figure Muhammad dari banyak sisi, dan sisi
militer itu, meskipun salah satunya, tidaklah begitu atau paling signifikan.
Pertanyaannya barangkali, mengapa ada kelompok Islam yang lebih melihat “sisi
keras” dan padang pasir itu? Apa yang “salah” pada model penglihatan dan
kepengikutan semacam ini?Saya kira konteks umat Islam yang merasa terbelakang,
terjajah, terpinggirkan, terserang, atau sebaliknya merasa umat pilihan dan
arogan, menjadi conditioning kenapa muncul kelompok garis keras yang
memunculkan dimensi militer dan dakwah keras Muhammad. Proses
kontekstualisasi Muhammad tidak mungkin bisa lakukan tanpa pertama mengakui
kesejarahan Muhammad yang keras itu dan memang benar berperang beberapa
kali. Karena itu kontekstualisasi Muhammad harus lebih dulu membaca sisi
militeristik Muhammad dan para sahabatnya dan pada saat yang sama membaca
sisi non-militeristik Muhammad yang lebih signifikan sepanjang hidupnya: sebagai
suami yang membuat salah satu istrinya cemburu, sebagai ayah yang sangat sedih
ketika anaknya meninggal, seorang mertua yang bangga dengan menantunya Ali,
sebagai anggota masyarakat Mekah yang dipercaya (al-amin) dan kemudian
pemimpin yang adil dan jujur dan anggota masyarakat yang terlibat langsung 
62
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
turun (bukan sekedar bicaradi depan) untuk mempertahankan Madinah dari
serangan dalam dan luar, dengan kata lain sebagai patriot dan “nasionalistik”
juga.Perlu juga dicatat, pemahaman Muhammad dan Islam di Barat sebagai
dengan sendirinya “Western” dan “liberal” tidaklah tepat, karena Islam dan
Muhammad di Barat telah dipahami secara sangat majemuk dan berbagai
spektrum. Mereka yang belajar dan mengajar Islam di Amerika atau Eropa tidak
dengan sendirinya menggunakan metodologi rasional, historis, dan kontekstual.
Saya beberapa kali mendengar ceramah keagamaan scholar yang sangat
apalogetik. Tidak sedikit scholar of Islam di AS yang cenderung defensif dan selalu
menekankan peaceful character of Islam semata-mata dan wonderful character of
Muhammad sambil menegasikan kompleksitas dan multidimensi sosok Muhammad.
Juga di masjid. Saya baru saja menghadiri solat Jumat, yang isinya urusan
Palestina dan Israel melulu; itu karena konteks perang media di AS, tapi banyak
imam masjid dan scholar di Amerika juga tidak sensitive dengan problem real
keAmerikaan, problem hidup di dunia global, dan seterusnya.Di pihak lain,
liberalisasi Muhammad sudah dimulai, meskipun kekuatan masih marginal dan
terpencar-pencar. Bagi Farid Esack di Afrika Selatan, Muhammad dan Al-Quran
menjadi “liberatif dan pluralis”; bagi Kecia Ali, Leila Ahmed, Fatima Mernissi, dan
Amina Wadud, Muhammad itu cukup gender-sensitive untuk zamannya, meski
tidak sampai “feminis” liberal, bagi Khaled Aboe el-Fadl, Muhammad itu toleran
dan human right activist. Di Indonesia, bagi Soekarno dan Hatta, Muhammad itu
liberal dan sekularis; bagi Syu’bah Asa, Muhammad itu “socially caring and
publicly engaged”, bagi Emha Ainun Najib, Muhammad itu penyair, bagi Musdah
Mulia, Muhammad itu pro-gay, buat Cak Nur almarhum Muhammad itu modern,
inklusif, dan multikultural. Bagi kaum Muhammadiyah, Muhammad itu puritan
moderat; bagi kalangan NU, Muhammad itu senang kalo dirayakan ulang tahunnya,
dan tidak terlalu peduli dengan “bidah hasanah” inovasi agama yang baik dan
konstruktif, danseterusnya. Liberalisasi Muhammad, menurut saya, adalah
memposisikan Muhammad sebagai Nabi dan manusia, sebagai sosok yang sangat
ukhrawi, tapi juga manusiawi duniawi. Salah satu hadis yang popular “ Antum
a’amu bi umuri dunyakum: Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” bisa jadi
landasan pijak, meskipun tidak cukup, karena statusnya yang masih controversial
dari sisi sanad dan pemahamannya. Konsep duniya dan akhirat yang ada dalam AlQuran
dan
di dalam hadis ini bisa kita kontekstualisasikan
untuk Indonesia dan

bisa
menjadi rujukan
upaya liberalisasi Al-Quran
dan Sunnah.
Liberalisasi
Muhammad
berarti meliberalisasi
Al-Quran
dan Sunnah. Urusan ekonomi, politik,
kriminal,
pertanian,
perdagangan,
dan semua
urusan “dunia” adalah ranah yang
bisa
diliberalisasi
tanpa harus selalu merujuk pada hadis-hadis
yang juga cukup
rinci
mengenai masalah-masalah
ini untuk konteks
masa lalu. Ada banyak sekali

hadis-hadis,
sekalipun
secara sanad kuat, tidak relevan
dantidak bersifat universal

untuk
Indonesia dan
kini. Akal sehat dan kritisisme sejarah
harus dipakai.
Liberalisasi
Muhammad
juga perlu menyinggung hubungan
AL-Quran dan Sunnah;

dan
hubungan Sunnah
dan Hadis, fiqh, ilmu agama,
dst.
Berbeda dengan
hubungan 
63
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Kristiani, Jesus, dan Bible, bagi banyak Muslim, Quran adalah sumber pertama,
dan Sunnah sumber kedua. Tingkat normatif Quran dan Sunnah berbeda. Begitu
pula, tingkat normatif antara ayat-ayat Al-Quran tidak selalu setara: ada ayatayat
favorit atau yang
paling sering dibaca
atau diteladani. Surat Al-Lahab
misalnya
paling
tidak favorit. Apalagi Sunnah, yang bagi
umat Islam zaman
sekarang
“terlanjur” harus
percaya dengan Hadis, sebagaimana
yang dikonstruksi
dan
diseleksi Bukhari,
Muslim dan lainnya- khususnya
kaum Sunni; sementara Shi’a
memiliki
koleksi Hadis
dan produk fiqh nya sendiri.
Di antara umat Islam, ada yang

lebih
ke Quran,
ada yang lebih ke Hadis, ada yang lebih
ke pikiran, sehingga dulu

ada
Ahlu al-Hadis
dan Ahlu al-Ray (pemikiran) seperti
Mutazila. Ada yang
“kekurangan
gizi”karena
terlalu membaca Hadis
sebanyak-banyaknya dan seliteral

mungkin,
tapi kurang
membaca Quran yang
banyak memuat substansi ketimbang

rincian.
Jadi, masalah
buat Muslim Indonesia adalah
bagaimana supaya “gizi”
mereka
seimbang.
Untuk liberalisasi Muhammad
di
Indonesia,
Sunnah harus
subject
to gagasan
substantik Quran dan
reason (ijtihad)
dan didiskusikan
terus
menerus.
Memahami
Muhammad melalui Sunnah, dan melalui
Hadis yang ada,
secara
historis dan kontekstual.
Dalam wacana internal Islam, tradisi
(Sunna)
Muhammad
dilawankan
dengan bid’ah. Saya cerita
sedikit soal bid’ah ini. Salah

satu
mahasiswa Katolik
saya dalam kelas “Islam”
yang saya sedang aja, tertarik
dengan
konsep bid’ah ini,
dan dia akan menulis
paper soal ini. Sayangnya, saya

tidak
punya buku
dalam bahasa Inggris khusus soal
ini, yang ada hanya buku-buku
pengantar
tentang Muhammad, sunnah, Hadith.
Dalam
bahasa
Arab, sunnah cukup
controversial:
Sunnah yang mana saja
yang normatif. Dan sejauh mana tingkat
normatifnya.
Ini terkait dengan
bid’ah: sesuatu yang
dianggap mengada-ada, yang
baru,
yang tidak ada
pada masa Nabi. Makanya
ada bid’ah hasanah (baik) dan
bid’ah
sayyiah (jelek). Kata
Gus Dur, kalo
ada orang Islam melarang
bid’ah,

jangan
pake celana
dalem. Hehehe. Jadi ada proses
kreatif pemikiran bid’ah ini
menjadi
sesuatu yang
konstruktif, tentu pertanyaan lagi
hal-hal mana yang bisa
dikreasi
dan inovasi
dan hal-hal manayang
tetap dan
subtantif.
Proses liberalisasi

Muhamamd
dan Islam
karena itu, bukan proses yang final, dan tidak akan
pernah
final.
Dan tidak akan pernah
seragam. Beberapa pemikir Muslim
Arab memulai
upaya
kontekstualisasi
Sunnah Nabi, mulai dari Yusuf Qardhawi,
Muhammad
AlGhazali
(yang menulis
tentang nyanyian, wanita, makan-minum,
pakaian, dst),.
Pak
Quraish Shihab saya
kira termasuk
yang paling produktif untuk
kontekstualisasi
Al-Quran
di Indonesia, meskipun
tentu saja karyanya dipengaruhi

pendidikan
dan pembacaannya.
Tentu saja usaha mereka
berbeda, namun poin
saya
adalah semangat
untuk
kontekstualisasi
Al-Quran dan Sunnah sudah
ada
dimana-mana.Kontekstualisasi
Muhammad butuh pemahaman
problem real
masyarakat
Indonesia
saat ini. Dari pemahaman ini
kemudian kita bisa membaca

Muhammad:
bagaimana kira-kira
Muhammad akan merespon
masalah ini jika dia
hidup
sekarang
dan di Indonesia? Misalnya, di Jakarta,
persoalan realnya sangat
kompleks:
remaja-remaja yang hedonistik, jalan yang macet,
selokan dan sungai

yang
kotor
dan bau, rasa tidak aman ketika naik angkot
dan bis kota, inflasi yang 
64
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
melonjat melewati daya beli, korupsi, pembunuhan, perusakan dan pembakaran
tempat ibadah, diskriminasi pendidikan dan pekerjaan, konflik etnis-agama, dan
seterusnya. Ketika terlanjur terjadi konflik etnis-agama di Ambon dan sebagainya,
ramai-ramai para penulis muda menulis kontestualisasi Quran dan Muhammad
sebagai anutan conflict resolution. nilai-nilai Pancasila saya kira adalah salah satu
liberalisasi Muhammad dalam konteks Indonesia. Historical awareness tentang
Indonesia? Tentang founding father Soekarno danHatta, tentang sumpah pemuda,
bhineka tunggal ika, Pancasila, ---memahami bahwa Indonesia adalah Negara
majemuk: dari mulai penganut agama asli, Hindu, Buddha, Islam, Protestan,
Katolik, Kong huchu. Bagi Muslim yang nasionalist, figur Muhammad yang
melakukan kontrak politik dengan suku-suku Yahudi di Medina bisa
dikontekstualisasikan untuk Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya, karena
Indonesia bukan Medina, dan presiden bukan Nabi agama-politik. Nilai-nilai
kontrak sosial itulah yang saya kira bisa relevan untuk Indonesia. Liberalisasi
Muhammad di Indonesia membutuhkan historical awareness tentang Indonesia itu
sendiri yang memiliki sejarah panjang dan pendek, memahami bagaimana the
founding father Soekarno dan Hatta, sumpah pemuda, bhineka tunggal ika,
Pancasila, UUD 1945 dan amandemen-amandemennya ---memahami bahwa
Indonesia adalah Negara majemuk: dari mulai penganut agama asli, Hindu,
Buddha, Islam, Protestan, Katolik, Konghuchu, dan sebagainya. Mengenai bahasa,
Muhammad, Al-Quran, Hadis, Sunnah, fiqh, dan seterusnya memang berbahasa
Arab. Proses Arabisasi tidak bisa terelakkan karena kepercayaan Muslim tentang
posisi bahasa Arab itu sendiri, agak berbeda dengan Katolik dan Protestan. Injil
bahasa Inggris dan bahasa Yunani atau Aramaik memiliki posisi yang kurang lebih
setara. Beda dengan Al-Quran dan terjemahannya. Patokan bagi liberalisasi Islam
adalah sejauh mana tingkat Arabisasi itu relevan dan tepat untuk Indonesia dan
sejauh mana proses lokalisasi dapat dilakukan terhadap Muhammad, Quran, dan
Islam. Dalam kenyataannya, selalu ada proses lokalisasi ayat- Hadis, fiqh,
tasawwuf, kalam di Indonesia. Antara Aceh dan Banten, Makassar, Lombok, Bali,
beda-beda pula. Contoh saja, nilai local sirri di masyarakat Bugis-Makassar,
dipahami sebagai harga diri yang melegitimasi pembunuhan laki-laki yang bawa
kawin lari perempuan, mengalami proses “Islamisasi”: harga diri adalah Islami,
tapitidak dengan membunuh, bisa dengan cara lain yang lebih “beradab”.
Kategori santri dan abangan saja, kan proses Jawanisasi kategori murni
keagamaan yang ada dalam Al-Quran seperti Mukmin, Muslim, Fasik, Munafik, dan
seterusnya. Dan masih banyak contoh lokalisasi lainnya.Kontekstualisasi Islam dan
Muhammad untuk Indonesia juga perlu lebih spesifik lagi: untuk individu, profesi
tertentu, laki/perempuan/gay, status ekonomi, politikus, intelektual, guru,
budayawan, saintis, dan seterusnya. Jadi Indonesianisasi penting, tapi belum
spesifik, karena proses internalisasi/teladanisasi pada ujungnya bersifat personal
dan komunal. Bagaimana Muhammad sebagai pacifist? Sekarang intelektual dan
media tidak pernah memberikan citra Muhammad sebagai pacficist. Hanya Yesus,
Gandhi, Martin Luther King, Jr, Mother Teressa, dan seterusnya. Saya sendiri 
65
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
kesulitan mencari sumber-sumber soal ini, baik Arab, Ingris, Jerman, Perancis,
dan Belanda. Ketika mahasiswa paska saya menanyakan referensi gerakan
perempuan Muslim yang focus pada peace building dan noviolence, saya hanya
dapatkan sedikit saja. Belum banyak kajian soal ini. Ada fragmen Muhammad yang
bisa mengindikasikan posisi Muhammad sebagai mediator, antara elit-elit sukusuku
di Mekka yang konflik mengembalikan
“batu hitam”
(hajar aswad) ke
tempatnya
di Kabah. Ada juga bagian
kehidupan Muhammad
ketika dia berdoa dan
memaafkan
musuhnya:
“Ya Allah maafkanlah mereka
karena mereka tidak tahu”

ketika
dia diejek dan dilempari
kotoran di Thaif. Ada juga hadis
yang menyatakan
Tuhan
adalah
Damai; Kasih Tuhan melampaui marah-Nya;
Siapayang tidak menuai

kasih
dia tidak
dikasihi; tentang kemiskinan, tentang haramnya saling
membunuh
dan
bunuh diri, tentang
siapa Muslim: seseorang yang lidah
dan tangannya tidak
mengganggu
orang
lain; tidak tanggung jawab; tentang
percaya dan tunduk sama

hukum,
tentang keserakahan,
materialisme, dan sebagainya;
ini semua kan
aplikable
dalam konteks
Indonesia dan kini.Bung Ioanes,
saya kira perlu ada kajian

khusus
dan buku
khusus. Paparan saya
di atas sekedar awal saja karena
problemnya
sangat
kompleks dan multi-dimensional. Masing-masing
poin diatas
perlu
dielaborasi
lebih panjang dan dalam lagi seharusnya.
Yang tak kalah
menariknya
lagi
adalah kontekstualisasi NU
dan Muhammadiyah yang khas
Indonesia
itu
dalam konteks Amerika saat
ini. Bagaimana Muhammad-nya NU dan

Muhammad-nya
Muhammadiyah
mengalami lokalisasi
lanjutan di Amerika. Lebih
lanjut,
dialog kontekstualisasi
Nabi-Nabi abad silam
(termasuk Sidarta Gautama,
Lao
Tze, Master
Kung, Gandhi, dan sebagainya) di ruang-ruang
publik untuk
masa
depan
Indonesia sangat
penting dan strategik.
Saya kira ada banyak kesamaan
dari
figur-figur
keagamaan
itu, dan karena
mayoritas Indonesia beragama maka
adalah
historically
natural bahwa
pemahaman mereka terhadap
figur-figur itu sangat

berpengaruh
terhadap bagaimana mereka melihat Indonesia
dan masa depannya.

Posted
by Muhamad Ali
at 4:23 PM
F R I D A Y ,  A U G U S T  0 8 ,  2 0 0 8
Nabi Muhammad Kontekstual
- HAR -
Muhamad ALI
Menarik saya mendiskusikan bagaimana pemahaman "liberal" bisa menjadi jalan
upaya kontekstualisasi Nabi Muhammad di zaman kini dan di sini (lokalitas). Dalam
sejarah Islam, status Muhammad sebagai "anutan" sebetulnya mengalami proses
penyejarahan di lokalitas dimana Islam dianut oleh masyarakat Persia, Rusia,
India, Asia Tenggara, Afrika, Amerika, Europa, dan seterusnya. Jadi, Muhammad
Europa, Muhammad Indonesian, Muhammad Afrika, dan lebih spesifik lagi,
Muhammad desa, dan Muhammad kota, sudah terjadi dan akan terus terjadi.
Proses kontekstualisas Muhammad juga terjadi pada level individu-individu dan 
66
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
kelompok-kelompok yang sama dalam hal "melakukan referensi" terhadap dirinya,
tapi sangat berbeda dalam manifestasi kultural, politik, ekonomi, sosial, dan
seterusnya. Ketika Nabi menikahi Khadijah sebagai satu-satunya istri, dan baru
menikah lagi setelah istri pertamanya ini wafat, dan menikahi wanita Qibthi, dan
janda-janda (kecuali Aisyah), tidak semua pengikutMuhammad "mempraktekkan"
poligami yang persis seperti itu. Mayoritas Muslim, secara statistik, malah
monogami, atau berpoligami tapi bukan janda, dan sekaligus, karena berbagai
faktor kontekstual sepanjang sejarah yang tidak memungkina kawin seperti Nabi
itu. Ketika Muhammad menjadi pemimpin agama dan politik sekaligus, umat Islam
dalam sejarah dalam prakteknya adalah sekularistik, bahkan sejak zaman
Umayyah, dan apalagi Abbasiyah, sampe Dinasti Usmani dan apalagi sekarang di
masa negara-bangsa, dan hanya kalangan minoritas saja yang "teokratis" persis
seperti Nabi (Iran zaman Khomeini misalnya), tapi negara-negara Arab lainnya
tetap saja "sekularistik" ) karena sudah ada pembagian otoritas keagamaan
(ulama) dan otoritas politik (sultan, president, dst).Di bidang ekonomi, mayoritas
Muslim tidak mempraktekkan bagaimana Nabi berdagang. Di bidang sosial apalagi,
konsep baduin dan nomad (kinsip, hospitability tribalistik) , tidak sepenuhnya
dipraktekkan masyarakat Muslim zaman sekarang dimana ikatan profesional
(kolega), teman bermain, teman kuliah, teman aktifis lintas agama, dan
sebagainya lebih penting, atau ketika kemajemukan identitas menjadi hal yang
lumrah.
Saya kira karakter masyarakat dan zaman adalah perubahan. Meskipun kelompokkelompok
fundamentalis
berteriak mengikuti
Sunnah Nabi, pada kenyatataan
hanya
bagian
kecil saja yang betul-betul mirip dan persis dengan
sifat-sifat
Muhammad.
Dalam sejarah
Islam dan bahkan Eropa dan dunia, sejak
abad ke-7
sampai
sekarang,
Muhammad telah mempengaruhi
berbagai tradisi yang berbeda
dalam
berbagai kehidupan.
Masalahnya adalah perubahan
yang seperti apa dan
sejauh
mana yang
pas dan diinginkan pemikiran
"liberal" itu. Perubahan natural

dan
sosial seperti
saya ilustrasikan di atas tidaklah
memadai. Masih ada kalangan

Muslim
yang
tidak dapat atau tidak mau membedakan antara
mana yang subtantif
dan
mana yang
tidak subtantif, yang "universal" dan yang
lokal (Arab Mekah,
Medina,
dan abad ke-7). Muhammad
dengan turbannya,
dengan jubahnya, dengan
siwaknya,
dengan
sendal jepitnya, dengan bahasa Arabnya, dan seterusnya.
Persoalan selanjutnya adalah umat Islam tidak sepakat mana yang substantif dan
mana yang cabang itu, meskipun selalu dianggap bahwa tauhid, keimanan, dan
rukun islam, sebagai yang universal, tapi kenyatannya praktek kepercayaan tauhid
itu juga telah mengalami lokalisasi di berbagai tempat, mengalami sinkretisasi.
Apakah mereka yang melakukan lokalisasi iman dan kepercayaan mereka terhadap
Muhammad (misalnya di Cikoang Sulsel) bisa disebut "liberal"? Mereka yang
akomodasionist terhadap kepercayaan, bahasa, dan budaya lokal, tampaknya
tidak berarti liberal dan progresif.
67
Ali Rohmad – STAIN Tulungagung
Jika salah satu karakteri Islam liberal adalah "rasional", maka mencium hajar
aswad ketika berhaji tidak perlu diikuti oleh Muslim liberal. Bukan hanya itu,
mempercayai air zam zam bernilai sakral dan kesehatan juga tidak rasional.
Status Muhammad sebagai pemimpin agama dan politik sekaligus di Medina tidak
perlu diikuti. Nikahnya Muhammad terhadap Aisyah yang berusia 9 tahun (menurut
beberapa sumber) juga bisa dianggap "aneh" kalo terjadi saat ini.Di sini lain,
Muhammad juga mau berdiri hormat di depan jenazah Yahudi yang lewat, dan
meminta tawanan Yahudi untuk mengajar baca tulis kepada Muslim, ketika
sekarang banyak orang Islam benci Yahudi. Muhammad juga melakukan kontrak
politik di Medina (mitsaq al-Madinah) dengan Yahudi dan Kristiani, ketika sekarang
di Palestina, kelompok Muslim, Yahudi dan Kristen belum bisa melakukan hal yang
sama untuk menjaga Yerusalem dan sekitarnya. Muhammad juga membebaskan
penduduk Mekah ketika mereka membencinya. Muhammad juga adalah pemaaf,
ketika sekarang hukuman-hukuman pengadilan tidak lagi memperhitungkan
pemaafan. Dan seterusnya.
Salah satu sumber referensi yang jarang dibaca umat Islam adalah sirah, padahal
rincian-rincian kehidupan Muhammad bisa dibaca disana secara kontekstual. Nilainilai
keadilan
sosial, penghargaan terhadap wanita
ketika wanita nomor dua,
nilai-nilai
persaudaraan
atas iman yang mengatasi
suku yang suka bertengkar,
nilai-nilai
kesantunan,
ketegasan, keberanian,
dan
semacamnya,
jika dilihat dari

kaca
mata zaman itu, bisa
dianggap "progressif". Jika pemikiran
liberal percaya
bahwa
zaman bergerak
progressif, maka pergerakan
itu tidak berhenti di zaman
Nabi.
Pergerakan itu
pun terus terjadi hingga sekarang, dan seterusnya.
Referensi
terhadap
Muhammad akan
tetap, tapi bentuk, intensitas,
pilihan, manifestasi, dan
geraknya
sangat berbeda dan berubah.
Singkatnya, peran Muhamad dalam sejarah adalah paradoksal, kompleks, dan
multi-dimensional. Jangankan sekarang, ketika Nabi ada pun dan terutama ketika
dia wafat, para pengikutnya sudah berbeda pendapat, dan menimbulkan
permusuhan dan bunuh-bunuhan.Tinggal kembali kepada dimana dan siapa yang
memposisikannya dan sebagai apa?Muhammad Nabi liberal? Atau liberalisasi
Muhammad? why not?
Posted by Muhamad Ali at 9:40 AM
- HAR -
68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar